A. Latar Belakang
Kabupaten Banyuwangi merupakan kabupaten yang terkenal akan keragaman masyarakat yang berjiwa seni atau suka terhadap keindahan. Hal tersebut tercermin munculnya beraneka ragam jenis kesenian yang berkembang di masing-masing daerah. Salah satunya adalah kesenian Kuntulan.
Kesenian menurut Dewantara (1977: 330) adalah segala perbuatan manusia yang timbul dari hidup perasaannya dan bersifat indah, hingga dapat menggerakkan jiwa perasaan manusia. Tindakan atau perbuatan manusia yang mereka ungkapkan dari dalam diri dan memiliki nilai estetika dapat menarik minat para penikmat seni. Para penikmat seni dapat menikmati sekaligus menilai kesenian tersebut. Karena melalui kesenian manusia mampu menyeimbangkan antara kebutuhan jasmani dan rohani dengan melakukan kegiatan atau aktivitas sesuai dengan kebutuhan hidupnya. Kesenian sebagai bagian dari kebudayaan yang keberadaannya sangat dibutuhkan manusia untuk kelangsungan hidupnya. Hal ini dikarenakan kesenian merupakan suatu sarana atau wadah yang digunakan untuk mengekspresikan rasa keindahan dari dalam jiwa manusia.
Nama kuntulan sendiri diambil dari istilah burung kuntul yang biasanya banyak di jumpai disawah berwarna putih bersih yang menjadi ciri khas para penarinya memakai baju putih. Seorang budayawan Banyuwangi, filosofi nama kuntulan sangat melekat pada masyarakat osing yang sering bermasyarakat, mementingkan kebersamaan dan kekeluargaan hal ini sama persisi dengan burung kuntulan yang ke mana saja selalu bersama dan berkelompok. Nama kuntulan juga diambil dari dari bahasa arab "kuntu" dan "lan". Kuntu yang mempunyai arti saya yang di umpamakan seorang santri dan kata lan merupakan singkatan dari kata lailan yang mempunyai arti malam. Jadi seni kuntulan ini sering diadakan dalam acara santri pada malam hari untuk mengisi kekosongan dalam malam atau untuk acara hiburan masyarakat.
Pada awalnya kesenian Kuntulan digunakan oleh tokoh-tokoh agama Islam sebagai sarana penyebaran agama Islam. Kesenian Kuntulan diterima oleh berbagai kalangan masyarakat sebagai hiburan dan sebagai sarana menyampaikan pesan-pesan yang ditampilkan melalui lirik syairnya dimaksudkan sebagai sanjungan kepada Nabi Muhammad S.A.W yaitu dengan syair-syair sholawatan, lantunan syair ajakan untuk menjalankan syariat Islam dan berbuat baik kepada semua umat manusia.
1. Sejarah awal kemunculan kesenian Kuntulan
Banyuwangi termasuk salah satu daerah di Indonesia yang sangat kaya dengan keseniannya. Sebut saja misalnya Tari Gandrung, Tari Seblang, Tari Kuntulan, Barong, Damarwulan, Jaranan, Angklung, Kendang Kempul, Gredoan, Kebo-keboan, dan sebagainya. Berbagai penelitian antropologi budaya menunjukkan bahwa ke-hadiran budaya Islam tidak memusnahkan budaya lokal, melainkan justru terjadi relasi budaya yang bersifat menggabungkan, sehingga tercipta budaya baru yang sangat khas, yakni budaya Islam Nusantara.
Kesenian kuntulan hadrah merupakan kesenian yang di tujuan untuk mengekspresikan wujud rasa syukur dan bertujuan sebagai media dakwah Islam. Yang didalam-Nya mengandung sholawat syair-syair al barzanji dan solawat lain terkadang hadrah juga di iringi dengan tarian yang mengambil unsur pencak silat agar kelestarian tetap terjaga di dalamnya dan tetap disukai oleh masyarakat lokal yang didalamnya tetap menjaga nilai unsur agama.
Nama kuntulan sendiri diambil dari istilah burung kuntul yang biasanya banyak di jumpai disawah berwarna putih bersih yang menjadi ciri khas para penarinya memakai baju putih. Seorang budayawan Banyuwangi, filosofi nama kuntulan sangat melekat pada masyarakat osing yang sering bermasyarakat, mementingkan kebersamaan dan kekeluargaan hal ini sama persisi dengan burung kuntulan yang ke mana saja selalu bersama dan berkelompok. Nama kuntulan juga diambil dari dari bahasa arab "kuntu" dan "lan". Kuntu yang mempunyai arti saya yang di umpamakan seorang santri dan kata lan merupakan singkatan dari kata lailan yang mempunyai arti malam. Jadi seni kuntulan ini sering diadakan dalam acara santri pada malam hari untuk mengisi kekosongan dalam malam atau untuk acara hiburan masyarakat.
Kesenian hadrah kuntulan di duga berkembang di Banyuwangi sejak 1920 an hal ini berdasarkan Jhon Schholte yang merupakan seorang antropolog yang menjelaskan bahwa telah ada syair-syair al-barjanji yang dilakukan oleh kaum lelaki yang diiringi oleh masyarakat osing di daerah Banyuwangi. Dugaan lain menjelaskan bahwa seni kuntulan hadrah berkembang sejak tahun 1970 an tepatnya di pesisir pantai namun lambat laun kesenian ini meluas sampai pelosok daerah bahkan menjadi icon tersendiri untuk Banyuwangi.
Kesenian hadrah mempunyai alat music yang sangat khas yaitu kluncing, kluncing sendiri merupakan alat music berbentuk segitiga yang terbuat dari besi yang caranya penggunaannya di pukul dengan besi yang lurus tanpa di bentuk. kesenian hadrah sekarang ini lebih berkembang pesat, termasuk dalam alat yang digunakannya semakin beragam contohnya : jidor, kendang, gong, dan bahkan piano.