Indonesia sejatinya dikenal sebagai negara yang berpegang pada nilai-nilai ketuhanan, perdamaian, dan toleransi dalam kehidupan bermasyarakat. Namun sayangnya tragedi-tragedi kekerasan yang terus terjadi justru menodai cerminan tersebut. Apa yang salah?
Konflik etnis di Tarakan (26/9/2010), bentrok di Jalan Ampera, Jakarta (29/9/2010), pembantaian terhadap pengikut Ahmadiyah di Cikeusik, Banten (6/2/2011), hingga kerusuhan di Temanggung, Jawa Tengah (8/2/2011), adalah contoh kekerasan yang baru-baru ini terjadi. Tak mudah untuk menjelaskan bagaimana bisa ada kelompok di negeri yang konon beradab ini dengan mudahnya melakukan tindak kekerasan. Korban-korban berjatuhan, namun para pelaku seakan tidak merasa bersalah. Bisa jadi para pelaku merasa tindakannya adalah sebuah "kewajiban" yang harus dilaksanakan.
Dalam berbagai tayangan para pelaku kekerasan terlihat bangga meneriakkan pekik-pekik kemenangan setelah melumpuhkan korbannya. Sementara para korban yang sudah demikian tidak berdaya, terus dibantai meski nyawa sudah lepas dari badan. Sikap tersebut menunjukkan bahwa para pelaku mengalami penumpulan rasa bersalah atas tindakan mereka. Semangat yang muncul adalah untuk menghancurkan. Lawan tidak lagi dilihat dan diperlakukan seperti manusia, melainkan sebagai binatang buas yang harus dilumpuhkan (F Budi Hardiman, 2010).
Ironisnya berbagai rentetan peristiwa kekerasan mudahnya terlupakan, sehingga menjadi sesuatu yang banal. Kekerasan yang dahulu banyak dilakukan oknum militer dan aparatur negara, kini telah beranak pinak dan menjadi biasa dilakukan masyarakat sipil. Padahal, tindakan kekerasan tidak bisa dibilang sebagai sesuatu yang lazim. Sebuah masyarakat yang tidak mempersoalkan kekerasan, patut dipertanyakan keberadabannya.
Faktor-Faktor Kekerasan
Perilaku kekerasan bukanlah hal baru dalam kehidupan manusia. Namun di era di mana peradaban manusia semakin mapan, aksi saling memangsa di antara sesama manusia tidak menemukan pembenaran dari sisi manapun. Perilaku kekerasan di abad modern merupakan indikasi adanya kejumudan dalam proses kesadaran masyarakat dalam berdemokrasi dan bertoleransi. Jika kebekuan itu tidak dipecahkan, maka bangsa ini tidak akan pernah dewasa dan ketentraman menjadi sesuatu yang langka.
Kekerasan kolektif tidak bisa dilepaskan dari propaganda, stigmatisasi terhadap kelompok lawan, dan iklim teror dalam mencapai tujuan. Identitas kolektif merupakan bahan bakar yang paling efektif untuk mengobarkan gairah anggota kelompok. Sentimen-sentimen rasistis serta kebencian dan permusuhan terhadap kelompok atau keyakinan yang berbeda dikobarkan melalui ajaran-ajaran resmi sebagai "kebenaran" yang tak tergoyahkan.
Dengan demikian para anggota kelompok kekerasan tidak akan terlibat semata-mata karena spontanitas. Hal tersebut dipertegas oleh Erich Fromm, bahwa munculnya kekerasan bukanlah karena faktor-faktor instingtual atau dorongan naluriah manusia. Kekerasan, baik oleh individu atau kelompok, dilakukan terkait kondisi eksistensialnya. Kekerasan terjadi sebagai upaya untuk mempertahankan kehidupan dan nilai-nilai mendasar yang dipegang oleh seseorang atau kelompok, serta keinginan untuk menghancurkan pihak lain dengan berbagai cara.
Dalam hal ini nilai menjadi kata kunci yang penting. Keberanian untuk melakukan kekerasan disebabkan karena para pelakunya menganggap hal tersebut dibenarkan menurut nilai yang dipahaminya. Karena itu penting untuk meluruskan nilai yang memotivasi manusia untuk melakukan kekerasan tersebut.
Agama Sebagai Tameng
Secara jujur harus diakui grafik aksi kekerasan komunal di Tanah Air belakangan meningkat signifikan. Kekerasan berdasarkan agama menempati posisi yang cukup tinggi dalam hal itu. Setara Institute mencatat selama tahun 2010 ada 216 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan yang mengandung 286 bentuk tindakan, yang menyebar di 20 provinsi. Sementara Maarif Institute secara khusus menyoroti Jawa Barat sebagai daerah yang mendominasi peristiwa kekerasan berlatar belakang agama dengan 120 kasus sepanjang 2010.