Lihat ke Halaman Asli

Pengaruh Global China, ACFTA, & Posisi Indonesia

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Kesepakatan Perdagangan Bebas China-ASEAN (ACFTA) yang mulai berlaku Januari lalu telah membentuk sebuah blok ekonomi 1,9 miliar orang. Perjanjian yang ditandatangani pada 2002 silam ini diyakini memberikan keuntungan yang seimbang bagi negara-negara di dalamnya. Namun kenyataannya, kalangan dunia usaha di negara-negara ASEAN, khususnya Indonesia, mengkhawatirkan dampak merugikan ACFTA bagi dunia industri, terutama karena banjirnya barang murah asal China.

Kekhawatiran itu beralasan. Kemajuan pesat China memang membuat banyak negara di dunia ketar-ketir, termasuk Amerika Serikat sekalipun. Pertumbuhan Negeri Tirai Bambu itu selama lebih dari dua dekade memperlihatkan kegemilangan. Semenjak “Empat Modernisasi” diluncurkan pada 1978 di bawah kepemimpinan Deng Xiaoping, pertumbuhan China rata-rata tercatat 9,8 persen per tahunnya. Bahkan pernah mencapai 11,4 persen untuk tahun 2007, dan menjadi pertumbuhan tahunan tercepat sejak 1994.

Selama bertahun-tahun, booming ekonomi China telah menyentuh kehidupan keseharian di Barat. Bukti yang paling nyata adalah masuknya barang-barang berlabel “made in China” ke berbagai penjuru dunia, dari pakaian hingga peranti komputer. Lebih jauh dari itu, China juga mengubah peta kekuatan dunia. Berbagai kalangan memprediksikan China bakal menjadi negara adikuasa baru, melampaui Amerika Serikat.

PricewaterhouseCoopers (PwC), misalnya, memperkirakan China bakal mengambil alih posisi AS sebagai negara dengan ekonomi terbesar dunia pada 2050, yang diukur berdasarkan kesetaraan daya beli (purchasing power parity/PPP). Kemajuan pesat China tentu saja akan memberikan dampak pada pertumbuhan global, alokasi sumber daya, perdagangan dan investasi, serta keseimbangan geopolitik dunia. China pun berupaya untuk menanamkan pengaruh kuatnya di kawasan Asia. Kesepakatan ACFTA bisa dikatakan merupakan salah satu upaya China memperluas pengaruhnya, selain juga bertujuan untuk mewujudkan integrasi Asia Timur.

Berdasar studi yang dirilis Institute of Southeast Asian Studies, secara strategis ACFTA merupakan aplikasi dari Konsep Keamanan Baru (New Security Concept) China dalam mendorong dunia yang multikutub, sebagai tandingan atas sikap unilateralisme Amerika Serikat. Presiden China Jiang Zemin mengumumkan konsep tersebut pertama kali pada 1996. Dengan demikian, ACFTA bisa dipahami sebagai bagian dari strategi China untuk menyebarkan pengaruhnya secara ekonomi maupun politik.

POSISI INDONESIA

Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono semenjak termin pertama pemerintahannya tahun 2004 terlihat berupaya meningkatkan peran diplomatik, dengan menjadikan Indonesia sebagai bagian dari kekuatan dunia dengan pengaruh global. Upaya ini turut disokong dengan kinerja perekonomian yang terus membaik. Dengan pertumbuhan 4,5 persen tahun 2009, Indonesia adalah salah satu dari sedikit negara di Asia yang menikmati pertumbuhan ekonomi positif di tengah-tengah krisis keuangan global. Angka itu merupakan yang tertinggi ketiga di antara anggota G20 setelah China dan India.

Prestasi besar dengan masuknya Indonesia ke dalam G20, yang merupakan kelompok negara-negara perekonomian maju, juga membuat Indonesia menempati posisi sangat strategis dalam menentukan arah kebijakan perekonomian global. Semakin besarnya peran Indonesia di kancah global sejalan dengan prediksi PwC bahwa peran negara-negara E7 (China, India, Brasil, Rusia, Indonesia, Meksiko, dan Turki) akan lebih besar G7 pada tahun 2050 hingga 25 persen. G7 sendiri terdiri atas Amerika Serikat, Jepang, Jerman, Inggris, Prancis, Italia, dan Kanada, plus Spanyol, Australia, dan Korea Selatan. Pada 2050, Indonesia diperkirakan akan menjadi kekuatan ekonomi terbesar keenam dunia di bawah AS, China, India, Jepang, dan Brasil, dengan PDB per kapita mencapai USD23.000. Bandingkan dengan PDB tahun 2005 sebesar USD1.250.

Selain dalam sudut pandang ekonomi, Indonesia merupakan kekuatan yang nyata dari sisi demografis, geografis, dan politis. Profesor Aymeric Chauprade, pakar geopolitik asal Prancis bahkan menilai Indonesia dapat menjadi salah satu kekuatan utama dunia, yang pada gilirannya dapat menjadi penyeimbang politik dunia. Bersama Rusia dan India, Indonesia dapat mencegah terjadinya bipolarisasi yang mungkin terjadi akibat pertentangan yang semakin tajam antara AS dan China. Pendapat Chauprade itu didasarkan pada alasan bahwa di masa mendatang keseimbangan global sangat bergantung kepada hubungan Barat-Islam-China. Dan Indonesia, yang selalu mengedepankan soft power, memiliki hubungan baik dengan berbagai pihak tersebut.

Namun fakta-fakta positif tersebut nampaknya belum mampu meyakinkan berbagai kalangan di Tanah Air untuk bersikap optimistis dalam menghadapi ACFTA. Kekhawatiran utama adalah masuknya barang-barang berkualitas dengan harga murah asal China, yang sebenarnya sudah membanjiri pasar-pasar Tanah Air sejak lama. Selain itu perjanjian tersebut dianggap akan lebih menguntungkan China dengan menjadikan ASEAN sebagai pasar baru, setelah sebelumnya berhasil menguasai pasar-pasar di negara-negara yang menjadi saingannya.

Merebut Peluang

Kesepakatan ACFTA yang resmi berlaku mulai 1 Januari 2010 lalu adalah fakta yang tidak bisa dihindarkan. Indonesia tidak bisa mundur kecuali menghadapi perdagangan bebas ini dengan segala upaya agar tidak menjadi pihak yang terpinggirkan akibat kalah dalam persaingan. Tantangan tersebut pun harus disikapi secara positif. Sebab ACFTA bertujuan untuk meningkatkan daya saing negara-negara yang terlibat di dalamnya, sekaligus menghapus hambatan-hambatan perdagangan, baik tarif maupun non-tarif. Artinya, ACFTA merupakan peluang sekaligus tantangan bagi kalangan industri Tanah Air untuk meningkatkan kualitas produk untuk bisa disejajarkan dengan produk-produk asing. Indonesia harus mengambil manfaat karena China merupakan motor penting bagi pertumbuhan ekonomi dunia dengan jumlah penduduk mencapai 1,3 miliar jiwa.

Perlu dicatat pula, Indonesia sebagai negara terbesar di Asia Tenggara memiliki posisi sangat penting bagi China, selain karena Indonesia merupakan pemimpin informal ASEAN. Perekonomian Indonesia telah meningkat pesat dalam beberapa tahun terakhir dan berhasil melalui krisis ekonomi global 2008-2009 dengan baik. Indonesia juga diperkirakan akan mencapai pertumbuhan ekonomi positif di masa-masa mendatang. Selain menjalin kemitraan dalam ASEAN +3, Indonesia dan China sama-samamenjadi anggota G20 yang merupakan institusi terpenting yang menentukan arah perekonomian global.

Memang mewujudkan harapan itu tak semudah yang diucapkan. Namun sebagaimana diuraikan di atas, negeri ini memiliki banyak potensi dan melihat peluang yang terbuka luas dari ACFTA. Masyarakat diharapkan dapat memahami secara komprehensif tujuan strategis dari kesepakatan tersebut, sehingga nantinya bisa memberikan manfaat luas bagi perekonomian nasional.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline