Sesuai hitungan kalender, seharusnya hari pertama di tahun baru adalah tanggal merah; libur nasional. Seperti pegawai kantoran ataupun buruh pabrik, aku ingin menghabiskan hari ini dengan santai-santai; piknik ke pantai atau pegunungan. Setidak-tidaknya aku dapat bermalas-malasan atau tidur-tiduran di dalam kamar. Persoalannya, jadwal kerja di restoran tidak bisa mengikuti hitungan kalender. Tiap minggu atau tiap bulan manager restoran rutin membuat jadwal kerja bagi seluruh tim dan karyawan. Jadwal libur kami bergilir, bahkan diacak.
Dengan perasaan lesu kami pergi kerja. Langit berwarna biru seperti dinding atau lantai yang telah dicuci bersih, sementara matahari tergantung dengan kemiringan tertentu bagaikan satu-satunya perabotan yang masih tersisa. Panas matahari yang menyilaukan menjemur apapun yang berada di bawahnya; mengeringkan bekas hujan semalam. Tapi melihat langit dan matahari secerah ini, kami dapat memperkirakan sore nanti hujan akan kembali turun. Namun, karena kami bekerja dibalik dinding-dinding beton yang tebal, kami takkan merasakan bagaimana basahnya hujan tersebut dan merdunya suara gemericik hujan itu. Tanpa hujan kami akan melupakan kenangan manis masa kanak-kanak dulu. Begitu kami masuk Plaza Indonesia, kami merasa memasuki sebuah dunia yang tak terhubung sama sekali dengan gerakan rotasi dan revolusi bumi.
"Bagaimana kalau hari ini kita bolos kerja?" Iwin mengusulkan.
Beberapa menit yang lalu aku juga sempat berpikir demikian kemudian mengawali tahun ini dengan sesuatu yang menyenangkan. Sesekali aku ingin keluar dari rutinitas ini. Kepatuhan-kepatuhan yang kami jalani sesuai prosedur lebih menjadikan diri kami rendah ketimbang dihargai. Meski kami tahu pekerjaan ini tidak menjanjikan masa depan, kami tetap saja melakoninya. Mungkin karena makin berumur, semangat pemberontakan kami pun semakin menurun.
"Kita bukan lagi anak sekolah," ucapku. "Kita harus punya tanggung jawab dan dedikasi terhadap pekerjaan. Kalau kita tak punya sedikitpun dedikasi terhadap pekerjaan, apapun pekerjaan itu, kita takkan pernah bisa hidup. Seperti teori seleksi alam; yang bertahan adalah yang kuat, tanpa dedikasi, kita akan musnah dimakan zaman."
"Sementara orang-orang susah mencari pekerjaan, kita beruntung masih punya pekerjaan," ucap Iwin kemudian berkecil hati dan aku merasa bersalah telah mematahkan semangatnya.
Berbicara mengenai sekolah, aku merasa malu dengan keadaan diriku sekarang. Tak tahu aku bagaimana guru-guruku berkomentar, tapi aku dapat memikirkannya, bahkan aku seperti sudah merasakan nada pedas yang terdengar di telingaku. Karena itu, beberapa bulan lalu, ketika mendapatkan selembar surat undangan reuni sekolah, aku lebih memilih menghindar dan bersikap seperti pejabat korup yang absen ke pengadilan dengan alasan sakit. Untuk orang gagal seperti aku acara reuni bukanlah waktu yang tepat untuk berkumpul dengan kawan lama. Dalam pikiranku, acara reuni dalam sebuah aula tak ubahnya mall-mall elite di Jakarta; tempat semua orang dengan leluasa memamerkan gengsinya. Melihat teman-teman sekolahku menceritakan segala kisah suksesnya, terutama di usia semuda ini, tidak hanya akan membuatku iri, tapi juga merasakan sakit.
Menurutku, akan lebih menyenangkan apabila acara reuni itu diisi dengan ingatan-ingatan mengenai berbagai kenakalan yang pernah kami perbuat. Kami seharusnya membanggakan masa-masa muda kami; masa-masa di dalamnya masih ada kebebasan meskipun, untuk murid seukuran diriku, ikut memikirkan beban dan tanggung jawab orangtua dalam mengatasi biaya pendidikan anak-anaknya. Tentu saja masa anak-anak lebih bebas daripada masa remaja; dibawah hujan kita berlarian dan melompat-lompat. Apabila di negeri-negeri Utara anak-anak bermain bola salju, di negeri tropis seperti dimana kita tinggal, kita akan bermain lumpur dan melemparkannya kepada teman-teman kita. Permainan kita akan membuat kita lebih kotor daripada anak-anak yang bermain salju. Tapi sesulit apapun hidup, kita takkan pernah memperdulikannya apalagi ikut memikirkannya.
Kini, aku telah mencapai usia dewasa; berada dalam sebuah fase yang dipenuhi ketakutan dan ketidak-pastian seakan-akan kita hidup dalam suasana mencekam yang penuh dengan aksi teror. Kita ingin mengacuhkannya, tapi pikiran anak-anak kita telah direnggut pelan-pelan oleh waktu. Yang bisa kita lakukan adalah seperti yang telah orangtua kita lakukan dulu; berupaya keras untuk memastikan bahwa kedepannya akan baik-baik saja.
Melewati pemeriksaan satpam jaga, aku dan Iwin memasuki pintu utama Plaza Indonesia. Meski aku cukup lama bekerja di salah satu restoran di sini, aku selalu merasa terasing. Seharusnya aku mampu mengakrabinya sebagaimana seseorang telah terbiasa dengan kebiasaan barunya. Namun, pada kenyataannya seiring waktu berjalan, aku malah makin mengenal diriku seperti apa; bahwa tak seharusnya aku berada di sini. Nama Indonesia yang disematkan pada mall ini tidaklah menjamin melahirkan kebanggaan diriku sebagai putra bangsa. Penyebabnya mungkin secara finansial aku bukanlah apa-apa. Maka, bila aku membandingkan diriku dengan para pengunjung mall, aku seperti memperoleh gambaran tepat mengenai penjajahan kolonial yang sempat direguk oleh bangsa ini di masa-masa lampau. Seketika mengingat itu aku ingin melarikan diri keluar dan memproklamasikan diri bahwa aku ini manusia merdeka.
Persoalannya, dengan alasan sederhana, aku malah terus berjalan menuju restoran tempat aku bekerja.