Lihat ke Halaman Asli

Sinar Fajar

Karyawan Swasta

Mata Kolam; Kamar Lelaki Impoten ( 4 )

Diperbarui: 24 Juni 2017   09:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Hampir saja aku membongkar isi seluruh lemari kalau saja aku tak menemukan pakaian yang tepat. Seperti tikus yang tengah menggali tanah untuk dijadikan sarangnya, aku mengubek-ngubek isi lemari. Menemukan pakaian yang cukup rapi dan kemungkinan pas di badannya ternyata cukup sulit. Padahal induk semangku suka menawarkan apabila aku butuh setrika, aku tinggal ngomong saja padanya. Karena aku terlalu malas dan tak pernah peduli soal penampilan, aku memilih langsung melipatnya dan memasukkan ke dalam lemari begitu aku angkat dari jemuran. Karena pakaianku kusut-kusut semua, aku memilih selembar kaos yang baru aku angkat dari jemuran kemarin, yang bau detergennya masih samar-samar tercium.

Sementara aku menyiapkan pakaian untuknya, tak peduli aku pun kuyup dan kedinginan, perempuan itu tengah membersihkan dan mengering badannya di kamar mandi bawah. Handukku yang agak basah aku pinjamkan padanya. Sampai saat ini pun aku masih tak percaya aku membawa seorang perempuan kemari. Aku merasa seperti seorang perjaka yang melarikan anak gadis dari orangtuanya karena hubungan yang tak direstui. Karuan jantungku berdebar-debar, merasa takut perkara ini bakal diketahui dan dilaporkan pada pihak berwajib. Beruntung, malam ini induk semangku tak ada di rumah karena merayakan tahun baru di Bogor bersama anak-cucunya. Aku juga berharap Iwin dapat bercengkerama dengan penyanyi bernama Andini itu lebih lama sehingga ia lupa waktu untuk pulang.

Seperti meragukan sesuatu hal kemudian berupaya mempertimbangkannya, aku menaruh kaos pilihanku itu di bawah pintu kamar mandi. Sebelum perempuan itu selesai membersihkan badannya, aku kembali bergegas naik, dan berganti pakaian. Untukku sendiri, aku tak perlu repot-repot mencari pakaian yang pantas seperti aku mencarikan untuk perempuan itu.

Tak lama kemudian perempuan itu naik ke atas. Merasa agak bingung dikarenakan belum mengenal tempat dimana ia berada sekarang, ia menyerahkan handuk itu padaku. Dengan kikuk aku menerima handuk itu kembali dan menaruhnya di atas tali jemuran. Sepanjang umurku, diantara pengalaman-pengalaman hidup yang mempertaruhkan nyali besar, baru kali ini aku ditempatkan dalam situasi menegangkan yang nyali sendiripun surut menghadapinya. Hanya berdua dengan seorang perempuan cantik dalam satu ruangan membuatku takjub sekaligus mengerikan. Kejantananku sebagai laki-laki dipertaruhkan malam tahun baru ini.

"Aku pikir kau perlu minuman hangat-hangat," kataku gugup seperti malu-malu hendak mengatakan bahwa perempuan itu cantik. "Aku akan buatkan teh untukmu."

Setelah aku persilahkan, perempuan itu duduk di atas sofa. Sementara aku mengambil teh celup dan gula, kemudian menumpahkan air panas dari dispenser ke dalam gelas. Sambil melarutkan teh dan gula dalam gelas, diam-diam aku memperhatikan perempuan itu melalui sudut bola mataku. Meski rambutnya telah digosok berkali-kali dengan handuk, itu tak cukup membuat rambutnya kering dan rapi; malahan tampak seperti sekumpulan cacing yang ditumpukkan dalam satu wadah. Alih-alih rambutnya yang tak bersisir, aku pikir baju pilihankulah yang membuat gadis itu tampak lebih berantakan; tampak kucel dan longgar membuat tubuh kurusnya tenggelam seperti anak kucing yang dijejalkan ke dalam karung goni. Tapi setidaknya kaos itu tak membuat kulitnya merah-merah ataupun gatal-gatal.

Seduhan teh itu aku sajikan di hadapannya. Uap teh yang meliuk-liuk di udara menghantarkan aroma sedap ke dalam hidung kami. Kembali aku memikirkan tentang kesempatan dan berbagai kemungkinan yang dapat aku lakukan bersama seorang gadis dalam satu ruangan terkunci. Melihat perempuan ini tampak rapuh, mudah saja aku memanfaatkan kesempatan baik ini. Dengan sedikit bujukan mungkin aku bisa menggodanya, mencicipi bagaimana rasanya seorang lelaki menyentuh perempuan ataupun sebaliknya, memuaskan libido kelelakianku yang selama ini belum benar-benar terpuaskan. Namun, sebelum bisikan-bisikan jahat itu berhasil menguasaiku, aku enyahkan pikiran cabul tersebut. Sebagai lelaki yang telah berhutang nyawa, seharusnya aku mampu menghargai perempuan ini.

"Terima kasih," suara perempuan itu terdengar dalam dan berat.

"Tidak," tukasku. "Seharusnya aku yang mengucapkan itu. "Tanpa kamu, aku pasti senasib dengan Fir'aun----mati tenggelam."

Di luar, meskipun hujan tak sederas menit-menit pertama turun, langit masih terus menumpahkan air. Percikannya menciptakan irama melankolis di telinga seperti sebuah lagu yang menceritakan tentang kesunyian, menghapus sisa-sisa kemeriahan tahun baru menjadi keheningan yang mencekam. Di saat-saat sendiri aku selalu menantikan hujan. Tak peduli sedahsyat apapun petir yang menyertainya menggelegar, aku selalu merindukan hujan, mengingatkan masa kanak-kanakku yang selalu berlarian di bawah derasnya. Seandainya hujan turun lebih awal malam ini mungkin aku takkan keluar menghadiri pesta kembang api itu. Aku akan betah berlama-lama mengetik di depan komputer karena hujan selalu bisa mengembalikan banyak kenangan.

Meski jengkel hujan turun terlambat, setidaknya hujan telah membantu menyelamatkanku dari rasa malu dan aku tak perlu menutup mukaku. Tak hanya kami berdua yang berlarian, kerumunan orang seketika terpencar-pencar mencari tempat berteduh. Malahan hujan membuat kami lebih bergerak leluasa. Sambil mengenggam pergelangan tangan penolongku, aku berlari menuju kamar kos. Tiba di depan pintu rumah barulah aku sadar bahwa aku telah membawa seorang perempuan, dan dengan perasaan bersalah aku segera melepaskan gengamanku dari pergelangan tangannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline