Malam pergantian tahun baru di belakang gedung Grand Indonesia sunyi senyap seperti malam-malam biasanya. Deretan pintu-pintu rumah di sepanjang gang hampir tertutup semua, kecuali warung-warung kecil yang masih buka menunggu pembeli. Masjid dan mushalla yang terjepit diantara deretan rumah-rumah tersebut bisu ditinggalkan jemaah. Memandang ke dalam masjid melalui kaca kusen yang kusam memunculkan sebuah pikiran dalam kepalaku tentang pemakaman yang dikeramatkan warga. Sinar keemasan yang dipancarkan lamu-lampu pijar di sepanjang gang melahirkan kecemasan tersendiri bak menyenandungkan sebuah lagu kemuraman, menyentuh jiwaku yang selalu merasa kesepian.
Tanpa suara derap langkah dan ribut-ribut suara manusia, segerombolan tikus sebesar kelinci tampak bergerak lebih leluasa; keluar sarang, berjalan dipinggiran got, kemudian merayap-rayap naik ke atas dinding mencari makan. Ketika kami berjalan di dekat mereka, tikus-tikus itu berlarian, kalang kabut mencari tempat yang aman untuk bersembunyi. Dibalik atap-atap rumah tersembul julangan gedung-gedung pencakar langit, lampu di dalamnya berkedip-kedip penuh keceriaan, memancing warga mendekat untuk mencari keramaian dan kemeriahan. Melihat tingginya gedung-gedung tersebut makin menyadarkanku bahwa di kota ini aku bukanlah siapa-siapa.
Seorang gadis berambut panjang tampak gembira menutup pintu pagar, lalu ia duduk di atas sepeda motor di belakang punggung lelaki berjaket kulit. Lelaki itu menyodorkan helm sambil tersenyum mesra dan gadis itu menerimanya dengan penuh kebahagiaan. Begitu si lelaki siap melajukan sepeda motornya, gadis itu segera memeluk erat-erat pinggangnya. Cara gadis itu memeluknya lebih cenderung dikarenakan takut kehilangan daripada takut terjatuh. Kami menepi mempersilahkan sepeda motor itu melaju di depan kami. Sebagai lelaki yang dicap jomblo seumur hidup, kebersamaan sepasang kekasih itu membuatku terjerat rasa iri; betapa beruntungnya, di usia yang tampaknya lebih muda dariku, lelaki itu sudah mampu menggandeng seorang perempuan.
Sepeda motor itu berbelok di tikungan depan gang hingga akhirnya menghilang sama sekali dalam pandangan kami. Seumur-umur aku belum pernah merasakan bagaimana rasanya memiliki seorang kekasih, bermanja-manja, mengumbar perasaan cinta, dan saling mengucapkan kata sayang. Merasa benci karena selalu saja didahului, aku mulai memikirkan kapan aku dapat merasakan kemesraan semacam itu dengan seorang perempuan. Membayangkan semua itu menjadi kenyataan sangatlah menyenangkan seolah-olah hidup ini terasa ringan dan mudah. Dengan segenap hati, aku ingin sekali memupuskan rasa kesepian ini.
Bukannya tanpa usaha aku menginginkan seorang perempuan. Aku yang dikenal pemalu dan dianggap telah dikutuk terus hidup sendiri tiba-tiba berani menyatakan perasaan pada seorang perempuan. Aku tak tahu apa penyebab yang bikin aku bertindak seberani ini. Aku sempat mengira adanya kekuatan gaib yang mendorongku. Kemudian setelah aku memikirkannya lebih jauh, aku menembak perempuan tersebut barangkali dikarenakan merasa tertuntut untuk memutus mata rantai sebagai lelaki yang dijuluki jomblo seumur hidup atau mungkin didasari atas faktor kebutuhan seperti seorang alim yang tiba-tiba berani mencuri karena kelaparan.
"Aku tidak bisa," tolak Lestari mentah-mentah. "Aku perempuan Batak. Sementara kamu lelaki Sunda."
"Apa urusannya dengan perbedaan etnis?" ucapku tak habis pikir.
"Aku sempat tinggal di Bandung," ucapnya mengemukakan alasan. "Perempuan di sana belum dua puluh tahun saja banyak yang sudah menjadi janda. Aku tidak mau menjadi janda muda. Aku masih ingin sekolah lagi."
Rasanya janggal seorang anak sekolahan, yang tentunya memiliki pergaulan luas dan berada jauh dari tanah leluhur, mempertahan stereotipe-stereotipe tertentu dan menjadikan hal demikian sebagai alasan. Tampaknya Lestari adalah perempuan yang belum mampu keluar dari kungkungan adat orangtuanya. Aku kecewa dengan alasan yang dikemukakan perempuan itu. Menurutku ia telah mengingkari Pancasila urutan ketiga. "Kamu tidak nasionalis," gumamku padanya.
Meski memasang muka cemberut, Lestari tampak tak peduli terhadap pernyataanku itu. Sebuah tradisi yang telah berakar sejak lahir dan dipercaya sejak nenek moyang memang takkan mudah tergoyahkan. Sambil menahan malu, aku berlalu dari hadapan Lestari. Alih-alih merasa kecewa, sebenarnya aku merasa bersyukur Lestari telah menolakku. Setidak-setidaknya, mengenai persoalan janda, Lestari berpikir aku akan mengajaknya dalam hubungan yang serius, padahal sama sekali tak terbersit dalam pikiranku untuk menikahinya selain cukup memacarinya saja; sekadar memutus kutukan jomblo seumur hidup. Namun pada satu sisi, aku merasa ini adalah caraku untuk menghibur diri sendiri.
Iwin tertawa mendengar aku telah menembak Lestari. Tawanya lebih keras saat ia tahu seketika itu juga aku ditolaknya. Ia sama sekali tak merasa kasihan bahkan menganggapku bodoh. "Selain makannya rakus dan ususnya terbuat dari karet, Lestari itu Kristen."