Lihat ke Halaman Asli

Fajar Hitam

Berpikir!

Hujan dan Jendela Modernitas

Diperbarui: 21 Januari 2018   06:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto Perjalanan

Oleh : Fajar

Pepohonan yang rindang menjadi tempat hujan bermain melodi
Menetes perlahan mengikuti alunan suara semesta.
Jernih seperti wajahmu
Menari mengiringi langkahmu.

Rak-rak buku di perpustakaan menjadi beku saat engkau lewat dengan senyummu menatapku dari jendela modernitas.
Sunyi tanpa buku puisi darimu.
Meski klasik puisi menjadi takdirnya.

Semalam rindu yang pekat takjua padam meski telah menatapmu di belasan malam..

Aku hanya mamapu melempar senyum, menghilang seketika menempel di dadamu
Lalu engkau balas dengan kata lembut di saat hati berdebu kelabu.
Mampuslah aku.. lagi dan lagi hanya mampu menatapmu dari jendela modernitas..
Melihatmu terbaring lalu tertidur..

Pelukku tak mampu menembus ruang dan waktu dari jendela itu.
Hanya mampu menahan.
Entah kenapa dia tahu disaat hujan turun.
Ia datang menghantuiku sebut saja ia rindu.

Berjuta, bahkan triliunan tetesan hujan rindu tak terhingga menjelma menjadi air yang aku timbah membasahi tubuhku dengan cintamu

Sayang, semoga surat yang kau kerjakan itu menyampaikan salamku.
Yang suatu saat kelak tertulis namamu dan namaku lalu mengiringi tetasan hujan yang tak terhingga menyebar berita kehidupan cinta kasih..
menembus batas jendela modernitas,
menjadi pelukan nyata.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline