Di sebuah kota kecil yang tersembunyi di balik pegunungan, ada seorang pemuda bernama Arga yang hidup dengan cara yang sederhana. Sehari-harinya, ia bekerja sebagai tukang kayu. Pekerjaan ini mungkin tak begitu istimewa, tetapi ia sangat menikmatinya. Sore hari, saat matahari mulai tenggelam di balik bukit, Arga sering duduk di depan rumahnya, memandangi langit yang berubah warna. Di sana, di ujung jalan berdebu, ada seorang gadis yang selalu mengisi pikirannya---Rara.
Rara adalah bunga desa, cantik dan ramah. Semua orang mengenalnya, dan hampir semua pemuda di desa itu pernah jatuh hati padanya, termasuk Arga. Namun, Arga berbeda. Ia tak pernah berani menyatakan perasaannya. Baginya, Rara bagaikan bintang yang terlalu tinggi untuk diraih. Setiap kali melihat senyum Rara, hatinya terasa hangat, tapi bibirnya terkunci, tak mampu berkata apa-apa.
Suatu hari, saat Arga sedang bekerja, Rara datang menghampirinya. "Arga, bisa tolong aku?" tanyanya sambil tersenyum manis. Arga hanya bisa mengangguk, jantungnya berdegup lebih kencang dari biasanya.
"Ada apa, Ra?" tanyanya pelan, berusaha menyembunyikan kegugupannya.
"Aku ingin kau buatkan sebuah kotak kayu yang indah. Sebuah kotak untuk menyimpan kenangan," jawab Rara.
Arga mengernyit, sedikit bingung. "Kenangan apa yang ingin kau simpan, Ra?"
Rara tertawa kecil, sebuah tawa yang selalu membuat Arga merasa ringan. "Itu rahasia. Tapi kotaknya harus spesial, karena isinya juga spesial."
Tanpa banyak bertanya lagi, Arga menyanggupi permintaan itu. Selama beberapa hari, ia bekerja keras membuat kotak kayu terbaik yang pernah ia buat. Ia memilih kayu yang paling bagus, mengukirnya dengan hati-hati, dan melapisinya dengan pernis hingga mengilap. Saat kotak itu selesai, Arga merasa bangga. Ia berharap kotak itu cukup untuk menyimpan kenangan yang begitu penting bagi Rara.
Namun, ketika Arga menyerahkan kotak itu, ia merasa ada sesuatu yang berbeda pada Rara. Gadis itu tampak lebih murung, senyumnya tak secerah biasanya. "Terima kasih, Arga," ucapnya lirih, menatap kotak itu sejenak sebelum berbalik pergi.
Hari-hari berlalu, dan Arga tak pernah lagi melihat Rara di desa. Kabar pun tersebar bahwa Rara telah jatuh sakit. Arga merasa hatinya diremas-remas. Ia ingin mengunjungi Rara, tetapi selalu ragu. Rasa takut menguasai dirinya---takut bahwa ia akan melihat Rara dalam keadaan yang lebih buruk, takut bahwa ia akan kehilangan gadis yang tak pernah bisa ia miliki.
Namun, rasa takut itu akhirnya kalah oleh rasa cintanya yang begitu besar. Pada suatu malam yang gelap, Arga memberanikan diri mendatangi rumah Rara. Saat tiba di sana, rumah itu tampak sunyi. Hanya cahaya lilin kecil di jendela yang menerangi kegelapan. Arga mengetuk pintu pelan, dan seorang wanita tua, ibu Rara, membuka pintu dengan wajah sendu.