Lihat ke Halaman Asli

Naif

Diperbarui: 17 Juni 2015   12:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pada suatu malam, Akmal membuka laptopnya dan berselancar di internet. Kemudian dia membuka Facebook, dan mendapatkan pesan masuk dari Udin, temannya semasa kuliah. Isinya, Udin mengajak untuk berkumpul di Punclut1 minggu depan. “Dulur2, bagaimana kabarnya, sudah setinggi apa gunung yang kalian daki? Saya rindu ingin bertemu kalian. Bagaimana kalau hari Sabtu depan kita kumpul di Punclut sore-sore? Datang ya!” Begitulah isi pesannya.

Seminggu kemudian, pada sore hari Akmal mendatangi Punclut. Disana dia mendapati Udin dan teman-teman semasa kuliahnya dulu. Seperti layaknya teman yang lama tidak bertemu, mereka semua mengobrol tentang kondisi-situasi sekarang masing-masing, dan mengingat masa-masa ketika masih kuliah. Hadir pula Fadli yang selalu jail terhadap Udin. Dia melakukan kejailan kembali terhadap Udin, sama seperti ketika masih kuliah dahulu, baik dalam bentuk fisik maupun verbal. Setelah acara selesai, Udin mengajak Akmal ke rumahnya untuk sekedar minum kopi dan mengobrol.

Di rumahnya, Udin menghidangkan kopi, kue-kue, dan sebungkus rokok, tapi Akmal tidak mengambil rokok karena dia tidak merokok. Dari dulu gaya merokok Udin tidak berubah, yaitu seperti bapak-bapak yang sangat menghayati hisap demi hisap.

“Jadi bagaimana dengan pekerjaanmu sekarang?” Tanya Udin.

“Alhamdulillah lancar.” Jawab Akmal. “Bagaimana denganmu?”

“Ya begitulah, ada enaknya ada tidak enaknya. Gajinya kecil eng...” Keluh Udin.

Akmal kemudian ke balkon dan memandangi langit. “Gaya merokokmu tidak berubah dari dulu.”

“Hehe, tentu saja, aku pernah berhenti merokok sebentar, tapi kemudian aku merokok lagi. Aku tidak bisa menahan keinginanku untuk merokok.” Kata Udin sambil menghisap rokoknya dalam-dalam dan mengeluarkan asapnya secara perlahan. “Si Fadli juga tidak berubah dari dulu, selalu jail, dan paling parahnya pasti kepadaku. Perilakunya itu suka melewati batas.”

Akmal masuk kembali ke dalam kamar dan duduk di depan Udin. “Mungkin dia rindu setelah sekian lama tidak bertemu denganmu.”

“Ah, dia itu tetap menyebalkan seperti dulu.” Kata Udin sambil mengerutkan dahinya. “Ingat dahulu waktu dia menawarkan sebotol Coca-Cola padaku, padahal dia sudah mencampurkannya dengan alkohol. Dia menganggap itu sebagai lelucon, menyebalkan sekali. Untung aku tidak meminumnya setelah si Deni memberitahu. Ah, sebenarnya aku juga muak bertemu dengannya, apalagi sikapnya yang tidak berubah dari dulu.”

“Wah, aku tidak tahu masalah itu, tapi itu adalah lelucon yang jahat,” kata Akmal, “dan sepertinya sekarang aku harus pulang, sudah terlalu malam, aku mulai mengantuk.”

Udin menyarankan untuk menginap saja di rumahnya karena besok adalah hari Minggu, tapi Akmal menolaknya. Pukul 10 malam, Akmal meluncur pulang ke rumahnya. Matanya sudah mengantuk. Sesampainya di rumah, Akmal langsung merebahkan dirinya di kasur dan terlelap tidur.

Keesokan harinya, Akmal berbaring-baring di kasur sambil mengingat kejadian kemarin. Terkadang dia tersenyum sendiri. Tak beberapa lama kemudian ponselnya berbunyi, tanda ada pesan yang masuk. Setelah dicek, sebuah pemberitahuan dari Facebook. Ketika dibuka, Udin memasang sebuah foto di halaman utama dan menandai teman-teman sekelas, termasuk Akmal. “Kawan kita semua bukan teman, tapi sudah menjadi dulur.” Begitulah tulisan di foto tersebut.

Melihat itu, Akmal kembali hanya tersenyum kecil.

Keterangan

1.Punclut adalah sebuah tempat wisata di kota Bandung.

2.Dulur adalah bahasa Sunda yang artinya saudara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline