Perkembangan teknologi big data menjadi tantangan dan peluang bagi lembaga survei. Penyelenggaraan survei yang membutuhkan sample besar, kemungkinan akan sepi peminat. Survei yang mengandalkan data primer (informasi individu), cenderung mahal dan memakan waktu yang lama. Belum lagi perubahan sikap dan pandangan seseorang yang begitu cepat berubah ditengah terpaan media sosial.
Istilah big data menjadi hal yang baru dan sering dibicarakan orang di era 4.0. Konsep big data pertama kali digunakan oleh Alvin Tofler pada tahun 1980, yang menunjukan data sangat besar, berisi data heterogen, terstruktur, dan tidak terstruktur dalam jumlah besar yang berisi teks, numerik dan gambar yang terdapat dalam email maupun diperoreh dari jejaring sosial.
Kita tahu Gojek merupakan perusahaan kecil yang berubah dengan cepat menjadi perusahaan raksasa. Gojek mampu memanfaatkan big data untuk menumbuhkan bisnisnya. Misalnya aspek kecil dari big data yang dikelola oleh gojek dalam layanan gofood. Jutaan bahkan miliaran data, baik yang terstruktur maupun tidak terstruktur masuk ke aplikasi gofood untuk memesan makanan.
Bahkan sekarang gojek mengembangkan aplikasi spoot, semacam aplikasi kasir yang bisa digunakan oleh mitra rumah makan baik yang pesan melalui gofood maupun offline (non gofood).
Bayangkan berapa banyak data orang yang membeli makanan yang masuk ke server gofood. Apakah gojek akan membiarkan data-data tersebut, tentu tidak. Sangat memungkinkan gojek memanfaatkan data tersebut untuk analisis bisnis makanan/restoran. Gojek tidak perlu melakukan survei dengan mengandalkan data primer, tapi cukup mengolah big data yang mereka punya.
Contoh lain misalnya, perusahaan kopi terbesar seperti Starbucks, menggunakan Big Data Analytics untuk melihat respon pelanggan terhadap produk coffe barunya. Pihak Starbucks memantau melalui blog, twitter, dan kelompok forum diskusi lainnya untuk menilai reaksi pelanggan.
Starbucks langsung menemukan hasil dari analisis Big Data bahwa meskipun orang menyukai rasa kopi tersebut, tetapi mereka berpikir bahwa harga kopi tersebut terlalu mahal. Maka dengan segera Starbucks menurunkan harga, dan menjelang akhir hari semua komentar negatif telah menghilang. Bagaimana jika menggunakan survei dengan tradisional, tentunya akan membutuhkan waktu yang cukup lama.
Manusia hari ini tidak bisa lepas dengan media sosial, setiap harinya lebih dari 11 milliar teks diproduksi dan didistribusikan melalui media sosial. Teks yang merupakan data tidak terstruktur bisa diolah menjadi informasi yang penting bagi perusahaan, lembaga sosial, pemerintah bahkan partai politik dalam melihat popularitas dan elektabilitas partai maupun kadernya yang akan bertarung dalam Pemilihan Kepala Daerah.
Dalam konteks survei opini publik, sangat memungkinkan big data digunakan untuk mengganti survei yang mengandalkan data primer. Lembaga survei ketika ingin melihat pilihan politik seseorang, bisa menggunakan big data yang ada di media sosial.
Walaupun hari ini jumlah pengguna media sosial baru mencapai 56% dari jumlah total penduduk di Indonesia, namun sangat berpotensi untuk bertambah jumlahnya. Para pengguna media sosial selalu mempost terkait dengan apa yang ada di pikiran dan perasaan mereka. Sehingga pikiran dan perasaan mereka bisa mewakili keinginan mereka .
Berubah atau Punah, dua kata inilah yang harus diwaspadai oleh lembaga survei ketika menghadapi fenomea distruption, dimana revolusi industri 4.0 mengalami perubahan sangat cepat, dengan merubah tatanan lama untuk menciptakan tatanan baru.