Lihat ke Halaman Asli

fajarli iqbal

Content and Branding

Jauh di Mata Dekat di Paket, Kisah Saya dan JNE

Diperbarui: 28 Desember 2021   20:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Counter JNE di Dekat Rumah Saya Cilebut, Bogor (Dok. Pribadi)

Ini adalah kisah saya dan JNE. Kisah anak rantau dengan kampung halaman. Kisah seorang suami sekaligus seorang Ayah dan kisah pemerhati ekonomi rakyat.

Saat saya memutuskan merantau ke ibukota tentu itu bukan pilihan gampang. Banyak yang harus dipertimbangkan selain uang. Ada jarak yang akan memisahkan, ada ruang dan waktu antara saya dan aspek kehidupan saya yang dulu. Keluarga, teman dan relasi semua harus berjauhan. Beberapa tahun yang lalu saya putuskan merantau dari Aceh, propinsi paling ujung pulau Sumatra ke Jakarta pusat Indonesia yang ada di pulau Jawa.

Selang beberapa waktu kemudian saya menemukan tambatan hati saya di ibu kota. Seorang wanita Bogor. Tangguh, berani, baik hati dan tentu saja sangat cantik. Saya memutuskan menikahinya. Saya mengadakan acara resepsi di Aceh. Perempuan ini pun saya bawa ke Aceh. Melihat tempat tinggal saya lebih dekat.

Suatu malam saat saya sedang menimkati kampung halaman bersama istri saya dan keluarga besar saya. Ayah saya sedang memotong dan mengupas tebu yang tumbuh di kebun di samping rumah saat itu. Istri saya ditawari untuk mencobanya, meski tidak biasa dengan itu dia tetap mencobanya. Seorang perempuan kota mencoba mengunyah tebu itu untuk mencicipi airnya. Unik dan tak pernah dia coba. Dia suka, sangat suka. Sensasinya sangat berbeda dengan meminum air tebu. Lebih gurih. "Enak juga ya," ucapnya.

Selang beberapa hari kemudian, kami kembali ke Bogor. Saya pun harus kembali bekerja di Jakarta. Rutinitas kami berlanjut. Namun kisah tebu itu terus melekat pada istri saya. Saat istri saya hamil, entah mengapa dia ingin mencicipi kembali tebu itu. Tebu yang dikupas dan dikunyang langsung itu. Wah bawaan bayi ini, batin saya. Harus dituruti.

Saya menawarkan alternatif tebu yang tersedia di seputaran Jabodetabek. Tidak, dia jawab dengan kata tidak. Dia ingin tebu yang dulu itu. Tebu yang tumbuh di samping rumah saya di Aceh itu. Wah, kok bisa begitu. Tak punya pilihan lain, saya harus mewujudkannya.

Saya utarakan niat itu ke ibu saya. Sempat bingung dengan cara pengiriman. Saat itu beberapa hari menuju Idul Fitri, ekspedisi sangat sibuk. Namun tentu saja, tak lama kemudian tebu itu sampai dengan selamat di Bogor. Itu semua berkat JNE. Dengan penuh dedikasi dan kadang ada tenaga ekstra yang keluar. Tak lama kemuadian, dengan mobil ekspedisi, kurir mengantarkan paket saya dari Aceh. Paketnya lumayan besar dan harus dibawa menggunakan mobil. 

Perlu diketahui bahwa di daerah khususnya di Aceh, penyedia jasa ekspedisi tidak seramai di ibu kota. Bagi kami, jika ingin mengirim barang tentu akan ke kantor atau loket pengiriman JNE terdekat.  JNE lumayan tersedia  banyak di Aceh.

Kemudian saya merenung, ternyata JNE sudah merasuki kisah-kisah hidup saya sejak dulu. Saya ingat dulu sering membeli sesuatu yang ada di ibu kota dan dikirimkan ke Aceh. Jasa pengiriman yang dipakai adalah JNE. Seolah JNE memberikan solusi kepada kami yang tinggal di daerah untuk terus terhubung. Seolah pulau tidak menjadi batasan, jarak tidak menjadi halangan karena JNE punya solusinya.

Berkat JNE, Kuliah Saya Selesai Tepat Waktu

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline