Lihat ke Halaman Asli

Buku "Menyulap Kekalahan : Operasi Militer AS dalam Film Hollywood dan Layar Televisi"

Diperbarui: 24 Juni 2015   20:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perang militer modern berkembang dari sisi teknologi, dengan ditemukannya teknologi yang semakin canggih dan mematikan. Dalam Kitab Perjanjian Lama dan Al Qur’an dikisahkan bagaimana David (Daud) melawan Goliath (Jaluth) dengan bersenjatakan ketapel yang disebut Ali ali dan sanggup membunuh Goliath. Sebuah teknologi militer yang ditemukan oleh Daud, seorang penggembala kambing dari Israel yang awalnya dianggap sebelah mata oleh kaumnya, dicatat dalam dua kitab suci. Jika kisah ini tidak ada dalam Perjanjian Lama maupun Al Qur’an, maka bisa jadi peradaban manusia sekarang tidak akan mengetahui bagaimana teknologi militer telah dikembangkan ribuan tahun yang lalu.

Jika David dengan Ali ali yang ditemukannya menjadi senjata mematikan, maka kini kita menyaksikan bagaimana senjata militer modern semakin canggih, mulai dari senapan, granat, meriam, rudal, senjata nuklir biologi dan kimia (nubika), tank, kapal perang dan pesawat tempur. Namun di balik kemajuan teknologi ini, faktor sumber daya manusia yang berada di balik senjata tetaplah yang utama.

Dengan perkembangan teknologi komunikasi yang berkembang sejalan dengan perkembangan teknologi militer, arus informasi dari medan pertempuran secara cepat menjangkau publik yang berada jauh dari area pertempuran. Fenomena Perang Teluk pada awal dekade 1990-an adalah sebuah contoh nyata bagaimana siaran langsung CNN, sebuah stasiun televisi satelit yang mengkhususkan pada berita yang berpusat di Amerika Serikat, menyiarkan secara langsung perang militer yang terjadi antara pasukan Koalisi pimpinan Amerika Serikat melawan pasukan Irak yang menduduki Kuwait.

Akrobatik dari pesawat-pesawat pasukan Koalisi yang canggih, seperti F-15, F-16 dan Tornado hadir di layar televisi dalam akrobatik yang sesungguhnya, bukan akrobatik dalam pameran dirgantara. Sebuah akrobatik yang dilengkapi dengan senjata-senjata mematikan yang digunakan untuk menggempur kedudukan pasukan Irak. Publik bahkan dibawa dalam hiperealitas dengan gambar yang dihasilkan dari kamera yang berada di kokpit pilot. Dengan kamera yang berada di kokpit, publik seolah diajak menjadi pilot yang bertempur. Bahkan kamera juga ditanam di bom pintar yang diluncurkan dari pesawat tempur pasukan koalisi sehingga dari layar televisi, publik dapat mengikuti perjalanan bom menuju sasarannya sampai saat bom meledak bersama dengan kamera yang dibawanya.

Bukan hanya dari kamera yang berada di bawah atmosfir bumi, satelit-satelit Amerika Serikat mengirimkan gambar dari luar angkasa tentang kehancuran target operasi militer pasukan Koalisi dalam Perang Teluk. Perang Teluk benar-benar mengubah wajah perang militer modern, yang sebelumnya hanya diketahui oleh pasukan yang terlibat dalam pertempuran namun kini diketahui oleh publik secara luas.

Jauh sebelum Perang Teluk berkecamuk, pasukan Amerika Serikat harus menanggung malu dalam Perang Vietnam. Belantara hutan tropis Vietnam menjadi area pertempuran yang mematikan bagi serdadu Amerika Serikat yang kebanyakan korbannya adalah anak muda Amerika Serikat. Kemenangan Amerika Serikat dalam Perang Dunia Kedua dan keberhasilan memukul mundur pasukan Korea Utara dalam Perang Korea tidak dapat dicapai lagi oleh pasukan Amerika Serikat yang bertempur di belantara Vietnam.

Namun apakah Amerika Serikat benar-benar kalah? Jika merujuk pada hasil pertempuran di lapangan maka jawabannya adalah benar Amerika Serikat kalah dalam Perang Vietnam, namun jika merujuk pada kebudayaan populer yang ada dalam layar film Hollywood maka jawabannya bisa jadi tidak. Rambo, sosok veteran Amerika Serikat yang terjun dalam Perang Vietnam menjadi antitesis dari kekalahan Amerika Serikat dalam Perang Vietnam. Rambo menjadi sosok yang merepresentasikan kemenangan Amerika Serikat dalam Perang Vietnam dan operasi militer Amerika Serikat lainnya, seperti yang direpresentasikan dalam operasi militer yang dijalankan Rambo dalam Perang Afganistan dalam membantu gerilyawan Mujahidin dalam melawan agresi Uni Sovyet.

Di pertengahan dekade 1980-an, ada titik balik dalam industri film Amerika Serikat. Di era ini, industri Hollywood bersekutu dengan pemerintah dan militer Amerika Serikat dengan memproduksi film-film yang menarasikan kepahlawanan dan patriotisme Amerika Serikat sekaligus menjadi klaim pembenaran atas keterlibatan militer Amerika Serikat dalam berbagai operasi militer. Adalah Top Gun, sebuah film yang menarasikan kepahlawanan pilot tempur Amerika Serikat, yang menjadi petanda penting dalam simbiosis ini. Dengan bantuan militer Amerika Serikat, industri film Hollywood menyuguhkan aksi patriotis dari Maverick, yang diperankan Tom Cruise, dalam melawan pesawat Mig dengan bintang merah di ekornya yang diklaim berasal dari satu negara di kawasan Timur Tengah. Sekitar enam tahun setelah Top Gun dirilis, pilot tempus Amerika Serikat akhirnya benar-benar terjun ke medan perang melawan pesawat Mig dari Irak, sebuah negara yang berada di kawasan Timur Tengah. Tentu ini bukan kebetulan yang tidak disengaja.

Tragedi 11 September 2001 yang terjadi ketika 11 pembajak pesawat yang konon berasal dari Al Qaeda melahirkan premis baru, bahwa jantung pertahanan Amerika Serikat bisa ditembus oleh musuh yang asimetris. Jika di akhir dekade 1980-an, era di mana musuh tradisional Amerika Serikat yaitu Uni Sovyet mulai menampakan tanda-tanda keruntuhannya, Amerika Serikat mengklaim dapat menyerang sasaran vital di Uni Sovyet cukup dengan pesawat siluman yang tidak mampu terdeteksi radar, maka kini Al Qaeda justru yang berhasil menyerang sasaran vital di Amerika Serikat tanpa perlu memiliki pesawat siluman.

Perang Melawan Teror yang digelorakan oleh Presiden George W. Bush di Afganistan untuk menghancurkan Al Qaeda dan Taliban dengan segera membangkitkan kenangan Perang Teluk. Liputan CNN yang eksklusif dari medan Perang Teluk dengan menampilkan kecanggihan teknologi militer Amerika Serikat dengan segera disebarkan ke publik. Namun, ternyata Perang di Afganistan tidak mampu menarik lagi minat publik atas teknologi yang canggih semata-mata sebagai bingkai berita. Al-Jazeera, sebuah stasiun televisi berita dari Qatar, menghadirkan bingkai berita yang lain. Al-Jazeera menampilkan Perang di Afganistan dari sudut pandang para korban, terutama warga sipil di Afganistan yang menjadi korban dari bom-bom Amerika Serikat. CNN kini tidak lagi menjadi eksklusif. Jika di medan pertempuran pasukan Koalisi pimpinan Amerika Serikat berhasil memukul mundur Taliban dan Al Qaeda bahkan membunuh Osama Bin Laden yang menjadi target utama operasi militer di Afganistan, maka situasi berbeda terjadi dalam perang media. CNN harus mengakui keunggulan Al-Jazeera yang berhasil meraih simpati penonton, bukan hanya di kawasan Timur Tengah namun di seluruh penjuru dunia. Logo Al-Jazeera dengan cepat dan massif terpampang di berbagai layar televisi di seluruh dunia, karena berbagai stasiun televisi mengambil gambar dari stasiun televisi ini.

Buku ini mengkaji bagaimana media massa modern, terutama film dan televisi, menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perang militer modern. Sebuah kajian yang layak dibaca oleh para peminat kajian militer, peminat kajian budaya populer, peminat kajian media serta kalangan akademisi di ranah komunikasi, terutama jurnalistik, kajian media, manajemen media dan broadcasting. Buku ini tersedia di Gramedia seluruh Indonesia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline