Lihat ke Halaman Asli

Etika Lingkungan Iklan Pemilukada

Diperbarui: 25 Juni 2015   23:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Oleh Fajar Junaedi

Setelah khalayak dibanjiri oleh berbagai iklan calon anggota legislatif dan calon presiden pada Pemilu tahun 2009, kini kembali publik di berbagai kota mendapat terpaan iklan calon kepala daerah yang bertarung dalam pemilihan umum kepala daerah (pemilukada). Pasangan yang bertarung dalam pemilukada secara massif melakukan kampanye melalui iklan, baik dengan menggunakan media iklan lini bawah (below the line), seperti dengan memasang baliho maupun menempelkan poster, maupun dengan memanfaatkan media iklan lini atas (above the line), seperti dengan memasang iklan di media televisi, radio maupun media cetak.

Tidak mengherankan jika ruang publik, mulia dari taman kota, arena pedestrian sampai pinggir jalan dipenuhi dengan baliho dan spanduk para kandidat yang bertarung dalam pemilukada. Beruntai janji manis dalam tagline kampanye dijual melalui berbagai spanduk dan baliho.

Etika lingkungan juga acapkali termarginalkan oleh pemasangan media iklan luar ruang yang dilakukan oleh para kontestan pemilukada. Taman kota yang seharusnya bersih dari media iklan, menjelang pemilukada ditanami dengan tiang baliho dan tiang bendera. Pohon-pohon yang menjaga kelestarian ekosistem juga tidak luput dari paku yang digunakan untuk menancapkan iklan pemilukada.

Padahal Etika Pariwara Indonesia (EPI) yang dikeluarkan oleh Dewan Periklanan Indonesia dengan dukungan dari sepuluh asosiasi yang berkaitan dengan dunia periklanan telah mengatur bahwa iklan ruang ruang (ouf of home media) wajib dipasang dengan memperhatikan kelestarian lingkungan, termasuk tidak boleh dipasang di bangunan dan lingkungan yang harus dijaga kelestariannya.

Komitmen terhadap etika lingkungan inilah yang perlu dipertanyakan kepada para kandidat yang bertarung dalam pemilukada. Isu pemanasan global (global warming) menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari narasi besar (grand narrative) dari isu lingkungan hidup. Etika lingkungan hidup sendiri muncul sebagai sebuah tanggapan terhadap etika moral yang selama ini berlaku. Etika moral yang selama ini berlaku dipandang lebih memprioritaskan pada relasi antarmanusia, dan serempak mengabaikan relasi antara manusia dengan lingkungan hidup non manusia di sekelilingnya.

Selama ini etika lingkungan hidup yang sering dianut, walaupun banyak yang tidak menyadarinya, adalah antroposentrisme. Dalam pandangan antroposentrisme, manusia dipandang sebagai pusat dari sistem alam, sehingga manusia dan kepentingan manusialah yang yang menentukan tatanan ekosistemnya. Dalam kasus iklan kandidat pemilukada yang dipasang tanpa mempedulikan kelestarian lingkungan, pandangan antroposentrisme ini relevan untuk melihat bagaimana manusia berperilaku terhadap lingkungannya. Ketidakpedulian terhadap kelestarian lingkungan, mengabaikan hak-hak lingkungan dan sejenisnya menjadi petanda dari pandangan ini, sebagaimana yang termanisfestasikan dalam iklan-iklan pemilukada yang dipasang di taman-taman kota maupun dipaku di pohon-pohon penyejuk kota.

Berbeda dengan pandangan antroposentrisme, pandangan biosentrisme dan ekosentrisme lebih memberi perhatian kepada lingkungan hidup, dengan memberlakukan etika pada lingkungan hidup. Jika pada biosentrisme, pengaplikasian etika hanya dibatasi pada makhluk hidup (hewan dan tumbuhan), maka dalam ekosentrisme, etika diberlakukan secara lebih luas pada lingkungan ekosistem seluruhnya. Jika menggunakan kedua pandangan ini, maka pemasangan iklan politik menjelang pemilukada di taman kota menjadi relevan untuk dipertanyakan. Jika menganut kedua pandangan ini, pemasangan iklan yang mengabaikan kelestarian lingkungan, seperti memaku poster kandidat di pohon, adalah perbuatan yang dianggap salah karena hanya mempedulikan kepentingan manusia, dan sekaligus mengabaikan kepentingan lingkungan hidup.

Manusia adalah makhluk hidup yang memiliki kesadaran (consciousness). Kesadaran memiliki arti bahwa manusia dapat mengenali dirinya sendiri dan karena itu berefleksi tentang dirinya. Hanya manusia yang sanggup mempunyai kesadaran dalam dirinya, dan inilah yang membedakan manusia dengan hewan. Karenaitulah, di tangan manusia kelestarian lingkungan di masa depan berada.

Jika dilacak secara etimologis, kata consciousness dapat ditelusuri dari Bahasa Latin conscientia. Kata ini berasal dari kata kerja scire yang berarti mengetahui dan awalan con yang berarti turut, sehingga kata conscientia dapat diartikan sebagai turut mengetahui.Turut mengetahui berarti memberi pengandaian jika di dalam diri manusia seolah-olah ada institusi yang selalu mengawasi perbuatan manusia. Institusi ini juga berhak menentukan baik-buruknya perbuatan manusia dipandang dari sisi etika.

Psikoanalis Pemasangan Iklan

Memasang baliho di taman kota, memaku poster iklan politik di batang pohon dan perbuatan sejenisnya bisa dilihat secara etis dari kesadaran yang dimiliki oleh manusia. Untuk lebih mudahnya, ada baiknya kita menoleh ke pemikiran Sigmund Freud tentang psikonanalisis untuk melihat bagaimana posisi etika lingkungan dalam pemasangan iklan luar ruang yang dilakukan oleh para kandidat.

Pemikiran Freud tentangsuperego menjadi kata kunci untuk memahami posisi etikia lingkungan hidup dalam iklan politik menjelang pemilukada. Sebelum memahami tentang superego, lebih baiknya terlebih dahulu melihat dua istilah lain yang menjadi awalan sebelum superego muncul, di mana keduanya bersama superego dianggap oleh Freud sebagai struktur kepribadian manusia.

Pertama, adalah id yang merupakan lapisan yang paling mendasar dari struktur psikis manusia. Id mencakup semua yang bersifat impersonal atau anonim, tidak disengaja, tidak disadari, dalam daya-daya mendasar yang menguasai kehidupan psikis manusia.Freud memberi bukti adanya id dalam diri manusia melalui mimpi, di mana manusia yang sedang bermimpi dalam tidurnya seolah-olah menjadi penonton pasif. Dalam iklan, ini berarti apa yang dibuat insan periklanan tidak bisa dilepaskan dari id. Karya iklan yang muncul dan kehendak untuk memasang iklan di titik-titik tertentu yang dianggap strategis selalu tidak bisa dilepaskan dari id manusia.

Kedua adalah ego. Ego mulai hadir sejak ada id melalui relasinya dengan dunia luar. Ego dinaungi oleh hasrat terhadap prinsip realitas (the reality priciple), sebagaimana yang kelihatan dalam perbuatan-perbuatan yang obyektif, yang sesuai dengan tuntutan sosial di sekitar manusia, dan ego mengungkapkan diri dengan bahasa. Sejak adanya ego, prinsip kesenangan dari id digantikan dengan prinsip realitas. Di dalam ranah ini, menjadi tugas ego untuk melakukan penyesuaian diri dengan alam sekitar, menyelesaikan konflik dengan realitas serta menyelesaikan konflik-konflik dengan keinginan yang tidak cocok satu sama lain.

Setelah mengetahuiid dan ego, maka kemudian superego bisa dipahami sebagai institusi yang seolah-olah berada di atas ego, karenanya disebut superego. Superego memiliki peran menjadi bagian yang melepaskan diri dari ego dalam bentuk observasi diri, kritik diri, larangan serta tindakan refleksif lainnya.

Dari superego ini kita bisa mengilustrasikan bagaimana pengabaian terhadap etika lingkungan hidup, yang sebenarnya etika ini menjiwai EPI, dalam ilustrasi berikut ini. ”Engkau jangan melanggar EPI dengan memasang iklan luar griya yang merusak lingkungan hidup!”, begitu perintah yang DPI kepada pelaku periklanan. Perintah dari luar ini kemudian terinternalisasi menjadi, ”Aku tidak boleh melanggar EPI dan memasang iklan luar griya yang mempedulikan lingkungan hidup”.

Dosen Departemen Ilmu Komunikasi di UMY. Tulisan ini pernah dimuat di Harian Joglosemar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline