Perkembangan kesenian Barongan pada tahun 1966 mengalami kemunduran akibat Peristiwa Gerakan 30 September PKI (G30S/PKI). Banyak seniman-seniman di Blora yang mengikuti Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) ditumpas. Peristiwa ini berdampak pada grup-grup kesenian yang jarang pentas karena takut dianggap simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI). Seniman-seniman di Blora bermunculan kembali pada tahun 1970-an. Terdapat dua kesenian yang muncul kembali yaitu Reog Barangan dan Barongan. Reog Barangan merupakan kesenian yang terdiri dari Jaranan, Gendruwon, dan Ledhek (penari tayub). Kesenian ini dipentaskan dengan cara mbarang (ngamen) keliling desa (Slamet, 2014: 182).
Pertunjukan Barongan Blora pada tahun 1970 keluar ketika ada acara seperti sedekah bumi, arak-arakan, lamporan, murwakala, dan memperingati hari kemerdekaan 17 Agustus (Slamet, 2014: 182-183). Saat itu tokoh-tokoh yang ditampilkan ketika arak-arakan hanya 2 tokoh yaitu Barongan dan Gendruwon. Pada masa ini pertunjukan Barongan menonjolkan adu kesaktian antar grup Barongan di desa-desa. Adu kesaktian ini masih terpengaruh ketika masa penjajahan yaitu Pencak Silat Konto. Barongan digunakan para jago (orang-orang yang sakti) untuk mengetes ilmu kanuragannya. Masyarakat sering menyebut dengan Gaprakan. Pertunjukan Barongan Gaprak merupakan pertunjukan tarung antar grup Barongan desa dengan memecahkan topeng Barongan secara spontan. Grup yang dianggap kalah adalah topeng Barongan yang sigar (pecah) terlebih dahulu. Setelah salah satu grup ada yang kalah maka tokoh Gendruwon yang mendamaikan antar grup (Edi Symilin, 2017: Video Youtube).
Mbah Sumodiharjo dan Mbah Sutip dari Desa Kemiri (Edi Symilin, 2017: Video Youtube) menjelaskan dalam bahasa Jawa:
"Jaman riyen ra do adu kesentikan, Barongan ki semeleh mboten dinggo tiyang jaman riyen Barongan semeleh ki saget tarung enten seng nglapakne ngoten (Mbah Sumodiharjo). Teng alitan kulo ngartos ngoten niku yo iku ndas wong seng nganggo Barongan mentukul iku dikeplak biasane antarane buntut kaleh toyak nyelametno ndase menungso niku (Mbah Sutip)".
Arti dalam Bahasa Indonesia sebagai berikut:
"Jaman dahulu sering adu kesaktian, Barongan itu di bawah tidak digunakan orang jaman dulu Barongan di bawah bisa bertarung dengan sendirinya (Mbah Sumodiharjo). Jaman saya kecil saya dulu pernah melihat seperti itu ya seperti itu kepala orang yang menggunakan Barongan muncul langsung dihantam dengan situasi seperti itu biasanya pemain belakang (ekor) akan membantu menyelamatkan kepala orang di depan (Mbah Sutip)".
Pernyataan tersebut memberi gambaran penulis bahwa pada saat itu Barongan Blora dimainkan oleh dua orang yaitu 1 orang memegang topeng Barongan dan 1 orang menjadi ekor. Pemain ekor berfungsi untuk menarik orang yang memegang topeng Barongan apabila kalah ketika terjadi Gaprakan.
Penulis menemui salah satu pelaku Barongan Gaprak di desa Jiken bernama Samijan (wawancara, Samijan, 11 November 2021) menuturkan dalam bahasa Jawa:
"Mbiyen jaman taun 70-80 Barongan podo Gaprakan. Gaprakan iku iso diarani tawur utowo tukaran antarane Barongan deso A karo Barongan deso B. Biasane Barongan metu kabeh pas wayah 17 Agustus neng Lapangan Balai Deso Jiken. Kabeh Barongan neng Mbloro nglumpuk neng Lapangan Balai Deso Jiken. Contone mbiyen aku pas ngendang neng Barongan Surojoyo soko dukuh Suruhan gaprak karo Barongan dukuh Nglencong. Pas waktu iku Barongan dukuh Nglencong kalah lagek di damekno. Mbiyen seng matoh Barongan soko Bangkle sing iso ngalahno Barongan kene (dukuh Suruhan). Anane gaprakan mergo podo adu kasekten Pencak Silat Konto kadang malah nek Barongane wes pecah seng maju malah wonge. Mbiyen taun 80-an yo pernah digawe festival neng Alun-alun. Awale lancar terus pas sampe neng Tugu Pancasila Barongan soko Mlangsen madep ngguri pas neng nggurine iku rombongan Barongan soko Bangkle terus nggurine rombongan Barongan ku. Barongan Mlangsen dianggap nantang Barongan Bangkle terus gaprak. Bar iku langsung mrembet neng Barongan liyane seng melu festival. Malah Mbah Jaran (pemain Barongan dukuh Suruhan) hampir diborgol karo arep di jotosi. Ono pemain emboh Barongan ngendi malah diuncalno neng Kali cedhak Kantor Pos Blora. Iku tawur nganti surup neng sekitar Alun-alun. Mulai taun 70-an nganti saiki iku goro-goro Barongan wong iso dijotosi nek gak di paido. Nek mbiyen misale awkmu wong ko Jepon tapi mek rencek neng alas Jiken iku dikon mbalik mergone Barongan soko Nglarohgunung Jepon sering musuhan karo Barongan kene. Sampe sakmonone taun sakmono goro-goro Barongan."
Arti dalam bahasa Indonesia seperti berikut:
" Dahulu zaman tahun 70-90 Barongan semua Gaprakan. Gaprakan bisa diartikan sebagai perkelahian antara desa A sama desa B. Biasanya Barongan keluar semua ketika 17 Agustus di Lapangan Balai Desa Jiken. Semua Barongan dari Blora ngumpul semua di Lapangan Balai Desa Jiken. Contohnya dulu saya saat nabuh kendang di Barongan Surojoyo dari dukuh Suruhan Gaprak dengan Barongan dukuh Nglencong. Saat itu Barongan dukuh Nglencong kalah baru didamaikan. Dulu yang kuat Barongan Bangkle yang bisa mengalahkan hanya Barongan sini (dukuh Suruhan). Adanya Gaprakan karena ingin adu kesaktian Pencak Silat Konto terkadang Barongan sudah pecah orang yang memainkan maju. Dahulu tahun 80-an pernah dibuat festival di Alun-alun. Awalnya lancar tetapi ketika sampai Tugu Pancasila Barongan dari Mlangsen menghadap ke belakang hadap-hadapan dengan Barongan Bangkle di belakang rombongan Bangkle adalah Baronganku. Barongan Mlangsen dianggap nantang Barongan Bangkle lalu Gaprakan. Setelah itu menyebar ke Barongan yang ikut festival. Bahkan Mbah Jaran (pemain dukuh Suruhan) hampir diborgol sama dipukulin. Ada pemain Barongan tidak tahu dari mana itu dilemparkan ke Kali dekat Kantor Pos Blora. Pada saat itu tawur/perkelahian sampai matahari terbenam. Mulai tahun 70-an sampai sekarang itu gara-gara Barongan orang bisa dipukulin atau dikata-katain. Kalau dulu misalkan kamu orang dari Jepon tapi ambil kayu bakar di hutan Jiken itu disuruh pulang karena Barongan dari Nglarohgunung Jepon sering melawan Barongan dari Barongan sini (Jiken). Sampai segitunya di Barongan."