Lihat ke Halaman Asli

Fajar Chaidir QA

Reporter/Penulis/Humas Pemkab Bekasi

Membaca Dialektika Pemilu 2024 dan Sikap Politik Kita

Diperbarui: 28 Juli 2023   22:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: Ilustrasi. Ist.

Sejak Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI menjalankan tugasnya dalam proses Pemilu 2024 sebagaimana diatur berdasarkan Keputusan dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 3 Tahun 2022 tentang Tahapan dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilu Tahun 2024, Pileg dan Pilpres 2024 secara serentak diadakan pada Rabu, 14 Februari 2024. Sekira 7 bulan lagi masyarakat sebagai warga negara kembali memilih "jagoan"-nya yang diyakini mampu menjadi yang diharapkan.

Menariknya, isu politik tentang Calon Presiden (Capres) hari ini secara ideasional dibatasi garis demarkasi antara mereka yang memilih "melanjutkan" berbagai program yang dicanangkan rezim Presiden RI Joko Widodo versus mereka yang memilih jalan untuk melakukan "perubahan".

Barangkali dalam demokrasi elektoral, ide menjadi elemen penting dari figur yang maju sebagai calon pemimpin Republik Indonesia. Sudah lumrah bagi kita perbedaan pandangan dalam upaya membangun bangsa.

Hal ini juga menjadi edukasi bagi kita untuk setidaknya mempelajari fenomena ini. Banyak publik menilai rezim hari ini seolah mengalienasi melalui "cawe-cawe" politik. Seolah ada common enemy secara politik dalam pesta demokrasi kita kali ini.

Keseruan pemilu kali ini kita bisa melihat dalam data survei, misalnya survei SMRC memperoleh angka 34,5 persen yang memilih Prabowo Subianto kemudian 33,3 persen yang memilih (Gubernur Jawa Tengah) Ganjar Pranowo, sementara Anies Baswedan 21,7 persen. Menariknya lagi semua capres dan partai pengusung yang terkecuali pengusung Anies, akrab dengan rezim.

Presiden Joko Widodo secara terang-terangan dengan diksi yang dipilihnya mengungkapkan kalau dirinya lebih memilih "tongkat estafet" ketimbang seperti "meteran pom bensin" yang harus memulai kembali dari nol. Secara makna kita bisa mengartikan yang pertama sebagai sesuatu yang akan diberikan dan dilanjutkan, yang kedua mengulang semua. Mungkin sikap demikian sangat wajar karena sebagai Presiden RI ingin program-program pembangunannya dilanjutkan oleh siapa pun yang terpilih nanti.

Pertentangan ini apabila merujuk pada filsafat sejarah pemikiran Hegel (1770-1831) bahwa penalaran sosial biasanya akan dilalui dalam tiga tahap yaitu tesis sebagai peng-iya-an, kemudian antitesis atau pertentangan berlanjut kepada sintesis penyusunan. Teori ini terkenal dengan Dialektika Hegel.

Berdasarkan pemikiran ini, kita bisa memaknai, pertama, tidak ada sesuatu apalagi dalam fenomena sosial politik yang sifatnya melanjutkan. Barangkali siapapun yang menang akan tetap memiliki jalan yang berbeda. Kedua, jika kita memberikan posisi kepada mereka figur calon presiden yang mendapat cawe-cawe Presiden kepada kelompok tesis, dan Anies Baswedan Antitesisnya apakah akan muncul tokoh alternatif ketiga? Baik itu muncul sebagai capres maupun cawapres. Ketiga, bisa saja seandainya mereka kelompok Anies Baswedan ada di posisi sebagai rezim belum tentu akan pro terhadap ide perubahan.

Demokrasi kita yang masih dekat kepada "siapa yang banyak dia yang menang", masih menjadi bukti para figur politik belum terlihat dewasa. Hal yang seharusnya tidak dipertontonkan seperti cawe-cawe politik, sekarang dipertontonkan. Sebab tanda kedewasaan biasanya terlihat dalam menerima pandangan yang berbeda dan bisa merangkul.

Tetapi ada hal yang lebih penting untuk kita sebagai masyarakat untuk pijakan dalam menentukan pilihan, siapapun pemimpinnya nanti.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline