Hutan terbakar, udara dikepung asap, sumber air mengering, sungai diracuni warga untuk mendapatkan ikan menjadi fenomena yang terus terulang setiap kemarau panjang di Kalimantan.
Tahun 2015 silam terjadi kebakaran hebat, kabut asap menguasai langit, mata air mengering, sungai-sungai yang masih dialiri air diracuni warga untuk mendapatkan ikan. Hal yang sama terulang lagi pada tahun 2019.
Pada tahun 2015, semua merintih, mengeluh bahkan berteriak karena gerah, panas, sumpek, dan krisis air bersih. Tetapi banyak yang tidak mau belajar untuk berbenah agar hal yang sama tidak terulang kembali. Tahun ini, perilaku yang sama terulang dan keluhan yang sama pun diumbar.
Ada apa dengan mentalitas masyarakat kita?
Pilu rasanya hati ini memandang bumi Borneo yang saya cintai saat ini. Hutan belantara yang identik dengannya dahulu kala, kini tinggallah kenangan.
Tidak banyak lagi hutan alam yang tersisa. Hanya seperempat hutan perawan Kalimantan yang belum terjamah yakni di beberapa taman nasional. Selebihnya?
Semua pohon besar sudah dijarah sejak rezim Soeharto sampai era kepemimpinan Megawati yang dikenal dengan sistem "tebang banjir" di awal tahun 2000-an.
Setelah kayunya dijarah habis, lahannya pun dikonversi menjadi menjadi areal perkebunan kelapa sawit. Dari Pontianak sampai dengan Putussibau, sejauh mata memandang yang terlihat hanyalah pohon-pohon sawit yang berjejer rapih.
Di mana masa depan keanekaragaman hayati Borneo? Gak ada yang peduli! Yang dipedulikan hanyalah aspek ekonomi dari persawitan, makanya muncul kampanye #sawit itu baik# yang diinisiasi oleh negara. Miris!!!
Hutan tipis yang tersisa namun belum digarap oleh karena moratorium perluasan kebun kelapa sawit pun sudah terbakar pada setiap kemarau panjang.