Akhir-akhir ini, terpantau dari media sosial,menyeruak ketakutan berkelebihan (fobia) di kalangan segelintir masyarakat Indonesia terhadap dominasi 'asing' (Amerika) dan 'aseng' (China) terhadap kedaulatan bangsa Indonesia.
Ketakutan ini sedemikian akutnya, sehingga bisa dibilang sudah mengarah kepada fobia. Hal ini semakin terasa ketika bertepatan dengan momen PILPRES untuk menentukan pemimpin bangsa. Di media sosial dan di warung kopi bertebaran komentar-komentar warganet yang 'menuduh' kandidat tertentu pro aseng dan asing. Tentu semua tuduhan ini tidak selalu berdasarkan fakta/data, tetapi lebih bersifat propaganda dan agitatif karena juga 'digosok' dan 'digoreng' oleh para elit yang memiliki kepentingan politis/ekonomis tertentu di Indonesia.
Terhadap semua fenomena tersebut, tentu publik yang kritis dan reflektif bertanya-tanya: apa penyebabnya?
Ada banyak faktor pemicu fobia masyarakat terhadap dominasi asing dan aseng. Salah satunya yang saya amati dan ulas di sini adalah secara filosofis sosiologis.
Secara filosofis, ketakutan terhadap dominasi asing/aseng hanyalah ungkapan lumrah dari reaksi spontan/kejutan atas globalisasi. Globalisasi yang melipat dunia menjadi selebar layar android/komputer meruntuhlan semua batas-batas teritorial tradisional. Semua kebudayaan dan nilai saling terhubung dan bertarung di jagad maya.
Ada dua reaksi yang bisa saja muncul di kalangan masyarakat.
Pertama, beradaptasi dengan semua hal melalui proses seleksi dan tetap menunjukkan identitas/jati diri/kedaulatan sendiri karena memandang globalisasi merupakan sebuah keniscayaan yang takterhindarkan.
Kedua, menutup diri karena merasa diri inferior atau gagap untuk beradaptasi dengan hal-hal baru/asing/aseng. Ini yang disebut dengan 'jurus siput' alias bersembunyi di dalam cangkang nan nyaman karena merasa diserang. Sikap inilah yang ditunjukkan oleh segelintir masyarakat Indonesia yang fobia terhadap asing dan aseng.
Sejarah dunia membuktikan bahwa, reksi defensif bangsa untuk menutup diri dari pengaruh globalisasi adalah kenaifan belaka dan tidak akan bertahan lama.
Karena itu, sikap adatif dan optimis adalah sikap yang tepat untuk dipegang kaum milenial.