Lihat ke Halaman Asli

Fajar

PEZIARAH DI BUMI PINJAMAN

Penulis, Tulisan, Pembaca: Sebuah Dialektika Tanpa Henti

Diperbarui: 24 Juni 2015   14:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

136721051218333805

[caption id="attachment_240709" align="aligncenter" width="320" caption="Ilustrasi (aishiteru-nacchi.Com)"][/caption]

Seperti kata yang sekali terucap tidak bisa ditarik kembali, demikianpun sebuah tulisan. Tulisan sekali terlontar ke publik tidak dapat ditarik kembali. Ibarat kata yang terucap menjadi otonom, tulisan pun demikian. Disebut otonom karena reaksi/dampak/efek dari kata yang terucap sejatinya taktertebak bagi audiens. Dampaknya langsung membekas bagi audiens, meski pengucap (speaker) mencoba menjelaskan maksudnya yang sebenarnya setelah kata-kata itu terlontar. Misalnya, terhadap seorang gadis aku mengucapkan, "kamu cantik deh!" Mendengar kata "cantik", wajahnya langsung merona, bibirnya langsung tersenyum, jantungnya langsung berdebar lebih kencang, batinnya langsung berkata, "pasti dia suka sama aku." Reaksi gadis ini di luar dugaanku. Padahal maksudku memujinya pagi-pagi di hari Senin membosankan ini karena melihat wajahnya kusut, bibirnya cemberut, serta bawaannya marah-marah melulu. Bekas di hati audiens atas kata yang terucap ibarat cap yang sulit dihapus oleh permintaan maaf pihak pelontar kata.

Hal yang sama berlaku untuk sebuah tulisan. Tulisan sekali dipublikasi dan dibaca menjadi otonom. Sekali dilempar ke publik, pembaca bebas "mencabik-cabik" tulisan tersebut. Dia bebas menafsirkan tulisan tersebut sesukanya sesuai sudut pandang, jangkauan pengalaman, kedalaman intelektual, dan kematangan emosionalnya. Jangan terkejut, jika maksud/pesan yang diharapkan penulis ternyata ditafsirkan ke mana-mana oleh pembaca seperti terungkap pada kolom komentar. Itulah konsekuensi ketika sebuah tulisan dilemparkan ke publik. Akan sia-sia jika penulis mencoba menjelaskan maksud tulisannya yang sebenarnya terhadap komentar beragam yang muncul. Karena setiap kata, frasa, kalimat yang telah terangkai sesungguhnya mempunyai kekuatan di dalam dirinya sendiri untuk mempengaruhi pembaca.

Inilah yang disebut dengan dialektika itu. Ketika sebuah tulisan, kemudian melahirkan komentar baru atau bahkan sebuah tulisan baru. Apakah penulis telah memperhitungkannya? Umumnya, jarang! Tulisan baru atau komentar baru atas tulisan sebelumnya menjadi bagian dari rangkaian dialektika tanpa henti bagaikan sebuah bola salju, semakin membesar ketika terus menggelinding. Hal inilah yang disebut dengan lingkaran hermeunetik terhadap teks.

Lalu, penulis seharusnya berbuat apa? Sadar akan dimensi otonom sebuah tulisan, maka bagi penulis penting untuk merangkai materi positif untuk meminimalisir (tidak bisa menutup sepenuhnya) kemungkinan  interpretasi bias dari pembaca/penafsir. Dampaknya terhadap pembaca/penafsir sangatlah besar dan membekas sehingga tidak bisa dihapus atau ditarik kembali oleh penulis meski tulisannya telah dihapus admin, dibredel penguasa, atau di-unpublish oleh penulisnya sendiri.

Persoalannya sebetulnya di mana? Keterbatasan bahasa! Yah, bahasa manusia tetaplah terbatas untuk mengungkapkan realitas yang tidak terbatas. Sebuah kata, frasa, atau kalimat tidak mampu mendeskripsikan persis apa yang menjadi sebuah kenyataan hidup. Kenyataan hidup ketika dijadikan sebuah tulisan melalui proses abstraksi dengan menggunakan kata-kata manusiawi/bahasa tetaplah terbatas.

Hal ini ibarat beberapa orang buta yang mencoba mendeskripsikan seekor gajah dengan meraba anggota tubuhnya. Masing-masing mereka mempunyai sudut pandang sendiri sebagai kesimpulan: ada yang menyebut benda yang diraba  itu kuda, kerbau, badak,  dan singa. Lalu apakah, masing-masing bisa mendaku deskripsinyalah yang paling tepat? Kesadaran akan keterbatasan bahasa sebagai alat pendeskripsian kenyataan hidup sehari-hari akan membuat orang semakin banyak menulis semakin banyak rendah hati. Semakin banyak mengetahui, semakin banyak sadar bahwa sesungguhnya dia tidak tahu apa-apa. Semakin banyak berkata-kata, semakin banyak tahu bahwa kata-katanya tetaplah terbatas. Semakin banyak menulis membuat orang semakin bijak???

* Terinspirasi dari puisi cerdas Profesor Muhammad Armand: Nyanyikanlah Fiksimu!




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline