Lihat ke Halaman Asli

Fajar

PEZIARAH DI BUMI PINJAMAN

Narsisius, Partai Politik, dan Politikus Masa Kini

Diperbarui: 24 Juni 2015   13:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13684216941560394466

[caption id="attachment_243131" align="aligncenter" width="494" caption="Sumber Gambar Narsisius (nuptialmystery.com)"][/caption]

Dalam mitologi Yunani dikenal kisah mengenai Narcissus atau lebih dikenal dalam literatur Indonesia dengan nama Narsisius. Dia adalah buah cinta Dewa Sungai bernama Sepisus (Chepissus) dan seorang bidadari cantik bernama Liriope.

Perkawinan Dewa tampan dan bidadari molek ini membuahkan Narsisius, seorang pria rupawan. Saking rupawannya membuat banyak bidadari khayangan tergila-gila dan jatuh cinta kepadanya. Tidak ketinggalan kaum pria pun mengaguminya sambil memendam rasa patah hati karena merasa sulit bersaing merebut hati para gadis.

Berkah wajah rupawan yang menimbulkan decak kagum banyak orang membuat Narsisius semakin sulit merasa jatuh cinta. Bagaimana mungkin bisa jatuh cinta dengan seorang wanita, jika masih banyak wanita cantik yang menguber-uber dirinya setiap saat? Dia pun semakin dalam jatuh dalam kesombongan. Kesombongannya membuat dewi Cinta Aprodite penasaran dan mengirim Eko (Echo=gaung/gema) untuk memikat hati Narsisius. Eko sangat cantik jelita dan dianggap paling sepadan mendapatkan cinta Narsisus. Namun, mau apa dikata? Narsisius tetap menutup hatinya bagi Eko. Walhasil Narsisius pun dibuat jatuh cinta terhadap dirinya sendiri oleh Dewi Cinta, ketika ia memandang kolam berair bening di tengah hutan. Ketika memandang wajahnya ia mendapatkan wajah rupawan dirinya sendiri dan jatuh cinta. Cinta terhadap dirinya membuatnya enggan beranjak dari bibir kolam sampai lupa makan dan istirahat yang kemudian membuatnya pun akhirnya mati karena mecintai dirinya sendiri.

Itulah kurang lebih kisah mitologi Yunani kuno yang menjadi latar belakang penggunaan kata narsis dan narsisme. Narsis berarti mencintai diri/perpusat pada diri dan sulit keluar dari kesempitan cinta diri, akhirnya memotivasi seseorang mengerahkan seluruh energi dan kapasitas agar membuat orang lain memusatkan perhatian pada dirinya sendiri. Sedangkan narsisme lebih kepada sebuah paham/ideologi/konsep filosofis yang lebih mengedepankan primat pada pemuasan ego seseorang, sekelompok orang, sebuah suku, lembaga, partai politik, atau negara.

Fenomena narsisme ini telah merasuk dalam setiap lini kehidupan baik privat maupun publik, tidak terkecuali dalam dunia perpolitikkan. Partai-partai politik dan orang-orang partai yang menjadi output dari partai politik saat ini cenderung jatuh dalam narsisme. Hal ini bisa tampak dalam aneka upaya "pencitraan instan" ketika menjelang pemilu/pemilukada. Partai-partai politik dan orang-orangnya berlomba-lomba menebar pesona ke sana ke mari demi mendapatkan dukungan rakyat dengan cara membagi sembako, aksi pengobatan gratis, membagi pakaian sampai duit. Tujuannya, hanya memenuhi egoisme politikus dan partai politik bersangkutan. Bukan karena memang partainya peduli dengan orang kecil, petani, kaum miskin, dan termarjinalkan, tetapi lebih digerakkan oleh motivasi narsisme.

Dalam percaturan politik di Senayan atau setelah menjadi presiden pun gaya narsis tidak pernah hilang dari para oknum yang menjadi produk-produk partai politik masa kini. Bukan aspirasi rakyat yang dikedepankan tetapi aspirasi partai. Tidak heran jika kemudian banyak yang bertanya apakah orang-orang yang duduk di senayan sungguh mewakili aspirasi rakyat ataukah aspirasi partai politik yang membesarkannya? Lebih sibuk mengurus kepentingan internal partai daripada mengurusi kepentingan rakyat banyak. Lebih sibuk mengeruk dari dari rakyat sebanyak-banyaknya dan lupa akan "janji manis" masa kampanye. Semuanya terus berulang bak lingkaran setan takterputuskan.

Fenomena narsisme dalam dunia perpolitikkan ini kian menguat di era reformasi. Politik pencitraan adalah anak kandung dari aliran Narsisme ini, yang merupakan cucunya Narsisius, Sang tokoh fiktif  dalam mitologi Yunani yang sengaja diciptakan untuk menggambarkan kenyataan real manusia yang memang sering menampilkan wajah narsis dalam kesehariannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline