Lihat ke Halaman Asli

Fajar

PEZIARAH DI BUMI PINJAMAN

Ketika Popularitas Gubernur Melebihi Presidennya

Diperbarui: 24 Juni 2015   12:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1371055157351815942

[caption id="attachment_248563" align="aligncenter" width="522" caption="lustrasi: Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo saat berbincang dengan Kompascom, di Balaikota Jakarta, Kamis (23/5/2013). | Kompas.com/Kurnia Sari Aziza"][/caption]

Membaca sebuah berita di Kompas.com berjudul: "Lambaian Pengunjung PRJ untuk Siapa, Jokowi atau SBY," membuat saya tersenyum-senyum sendiri. Ditambah lagi dengan komentar pembaca di bawah berita tersebut. Diberitakan bahwa ketika Presiden SBY dan Gubernur DKI Jokowi memasuki tempat dibukanya secara resmi PRJ, kedua tokoh tersebut mendapatkan lambaian tangan pengunjung. Respon keduanya berbeda. Presiden SBY membalas lambaian tangan tersebut sambil menebarkan senyum, sementara Jokowi hanya menunduk sambil tersenyum.

Respon keduanya mempunyai arti lebih dalam. Bagi SBY, karena dia adalah Presiden, pemimpin tertinggi maka beliau sangat yakin jika lambaian tangan pengunjung itu untuknya, sehingga ia pun balas melambaikan tangan. Sedangkan bagi Jokowi, dia menyadari posisinya hanyalah sebagai Gubernur DKI Jakarta maka cukup tersenyum saja karena memang lambaian tangan itu lebih pantas untuk Presidennya.

Bersyukur bahwa para pengunjung PRJ tidak melambaikan tangan sambil meneriakan, "Jokowi..Jokowi..Jokowi.." seperti yang sering juga terjadi ketika ada iring-iringan presiden melewati masyarakat Jakarta. Bahkan dalam berbagai kesempatan ketika berjumpa dengan masyarakat, kepada Presiden SBY pun selalu ditanyakan Pak Jokowi mana, apabila tidak ada Jokowi dalam rombongan tersebut.

Popularitas Jokowi bagi masyarakat Jakarta memang telah mengalahkan popularitas SBY, meski telah bertahun-tahun Presiden SBY telah menetap di Jakarta. Tidak mudah memang bagi Presiden SBY menempatkan diri dalam posisi seperti itu.

Hal ini mengingatkan saya akan sebuah kisah klasik ketika Raja Saul menghadapi popularitas Daud yang masih muda tetapi mampu mengalahkan Goliat, sang raksasa dari kubu lawan. Ketika Daud masuk kota, ia disambut dengan meriah dengan yel-yel: "Saul membunuh beribu-ribu, Daud membunuh berlaksa-laksa." Padahal yang dikalahkan Daud hanyalah Goliat. Betapa murkanya Raja Saul ketika mendengarkan popularitas Daud melejit secepat itu dibandingkan dirinya yang telah lama menjadi raja. Dia pun berusaha melenyapkan Daud dan oleh karenanya memaksa Daud harus menyembunyikkan diri dalam pengembaraan. Raja Saul tidak ingin ada pemimpin yang mengalahkan popularitas dirinya di hati rakyat.

Di tengah popularitas Jokowi yang kian mengalahkan Presiden SBY, sikap sadar diri seperti yang diperlihatkan Jokowi di peresmian PRJ itu tepat. Walaupun bisa saja, lambaian tangan itu sejujurnya mungkin untuk Jokowi, tetapi dengan cara menanggapi seperlunya karena Presiden SBY sudah menanggapi dengan penuh antusias, Jokowi mau menempatkan dirinya secara tepat sebagai seorang Gubernur di bawah Presidennya.

Popularitas sebagai pemimpin yang memikat hati rakyat tidak mudah digapai. Sekali digapai memang memabukkan dan menjadikan pemimpin sulit menerima ketika ada pemimpin baru potensial yang mengalahkan polularitas dirinya. Perlu tetap rendah hati ketika menghadapi popularitas diri yang terus meningkat. Perlu juga introspeksi mengapa telah menjadi pemimpin yang semakin tidak populer di hati rakyat meski bukan popularitas diri yang ingin dikejar dengan kekuasaan yang ada. Namun popularitas diri bisa menjadi indikator apakah seorang pemimpin dalam gaya kepempinannya sangat populis dan membumi ataukah sangat  birokorat-aristokrat.

Terkait

POPULARITAS JOKOWI JELAS TERASA BEDANYA




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline