[caption id="attachment_183911" align="aligncenter" width="525" caption="Ilustrasi :Melangkah Menuju Cahaya Yang Membebaskan Jiwa"][/caption]
Di Senja hari yang sunyi, di sebuah teras rumah, sambil menikmati kopi aku mendengarkan kata-kata pria tua yang sering kukunjungi, tempat aku selalu berbagi tentang hidup. Sore ini ia panjang lebar menuturkan, tentang apa itu kebijaksanaan menurutnya. Sambil menyeruput kopi yang mulai dingin aku terkesima mendengar penuturannya yang berapi-api, ke luar dari jiwa sederhananya tanpa kepalsuan:
"Aku mencintai Kebijaksanaan sejak masa mudaku," kata seorang mistikus.
"Kebijaksanaan yang kucintai sejak masa mudaku berbeda dengan kebijaksanaan yang umumnya dianut oleh dunia ini. Kebijaksanaan yang dianut dunia ini pada umumnya terdiri dari penyesuaian yang sempurna dengan patokan-patokan dasar dan gaya hidup dunia. Kebijaksanaan versi ini secara tersembunyi, diam-diam, dan terus-menerus mengejar kenikmatan (hedonis) demi kepentingan pribadi (egosentris) yang kerapkali kemudian menimbulkan skandal dalam kehidupan bersama.
Seorang bijaksana menurut ukuran dunia adalah orang yang tahu mengurus perkaranya dengan baik, membuat semuanya berhasil demi keuntungan pribadi tanpa memberi kesan bahwa memang itulah yang dicarinya (licik). Ia pandai berpura-pura dan menipu secara halus tanpa orang lain di sekitarnya menyadarinya (hidden agenda). Ia mengatakan dan melakukan sesuatu, namun dalam hatinya ia berpikir lain. Ia memuji sesamanya setinggi langit, sambil dalam hati merancang apa yang akan kukeruk darimu dalam keterlenaanmu. Untuk mendukung kepiwaiannya, ia mempelajari segala macam tata krama dan teknik mempengaruhi/merayu sesama. Sesungguhnya ia telah terjerumus dalam tindakan membuat perjanjian yang membinasakan antara kebenaran dan kebohongan, antara nilai-nilai abadi kehidupan dan nilai-nilai periferal duniawi, antara kesalehan dan dosa, antara kebenaran Kitab Suci dan Iblis dalam berbagai wajah.
Ia suka dianggap orang sopan, tetapi bukan sebagai orang saleh. Ia merasa risih dengan kesalehan orang lain yang ada di sekitarnya dan berusaha tanpa henti untuk mencela mereka sampai membunuh karakter mereka dengan berbagai cara yang tidak terpuji. Pendek kata, seorang bijak menurut dunia ini adalah seorang yang membiarkan diri dibimbing oleh terang panca indera dan akal budi sembari melupakan "INTUISI" yang menjadi "titik pacu" bagi "iman."
Seorang bijak duniawi mendasarkan kelakuan dan perihidupnya atas kehormatannya, gengsinya, atas apresiasi orang terhadap apa yang dikatakan dan dilakukannya, atas apa yang lazim (common sense), atas apa yang memberi kesan baik (impresi), atas kepentingan pribadi, atas tata krama yang halus, dan atas leluconnya yang berhasil memantik tawa dan decak kagum orang di sekitarnya.
Biasanya inilah keutamaan-keutamaan yang dikejarnya agar diberi tepukan tangan meriah dan decak kagum sesama: kegagahan/kecantikan, kehalusan, kelincahan, kepandaian, kesatriaan, kesopanan, dan keriangan. Yang dianggapnya benar-benar dosa adalah perasaan kurang peka, kebodohan, kemiskinan, sikap kasar, dan sok alim yang ditampakkan sesama di sekitarnya.
Dia akan menerapkan seteliti mungkin perintah-perintah taktertulis yang dianut dunia pada umumnya seperti: engkau harus mengenal isi dunia dengan baik; engkau harus hidup sebagai orang yang mengenal sopan santun; engkau harus mengurus bisnis dengan baik bila perlu makan semua lawanmu; engkau harus mempertahankan apa yang menjadi milikmu agar bertahan sampai tujuh turunan dengan menimbun sebanyak-banyaknya di BANK dan SAHAM; engkau harus mengejar semua pangkat dan jabatan tertinggi bila perlu dengan menginjak semua lawanmu; engkau harus pandai menciptakan jaringan relasi/persahabatan agar dianggap "gaul"; engkau harus lebih bergaul dengan orang-orang yang selevel denganmu atau kaum borjuis dan jetset; engkau harus selalu tampil ceria setiap waktu agar selalu menarik mata yang memandangmu; jangan sampai kata-katamu membuat orang lain terluka sehingga menutup pintu rezeki bagimu; janganlah engkau bertingkah aneh (nyentrik), kasar ataupun sok saleh di depan sesamamu.
Kebijaksanaan duniawi juga tampak dalam perilaku orang yang mementingkan "harta" di atas "manusia", "barang" di atas "nyawah".
Orang bijak menurut dunia secara diam-diam menjadi penganut kebijaksanaan ini: melekatkan hatinya pada harta duniawi dan beruaha untuk menjadi kaya sampai tujuh turunan. Bila mereka membuat perkara di pengadilan dan terlibat dalam sengketa yang tidak berguna untuk memperoleh harta benda itu atau untuk mempertahankannya dari gangguan orang. Mereka akan menyewa sebanyak mungkin pengacara beken untuk mengamankan harta bendanya, aset-asetnya dari gangguan para lawan bisnisnya. Di hati mereka tidak ada tempat bagi orang miskin, pengemis, gelandangan, dan kaum terbuang. Rumah mereka akan dibangun dengan pagar yang tinggi-tinggi, dijaga satpam binatang, kamera, dan manusia. Pemulung akan dilarang memasuki kawasan mereka, karena pemulung tidak punya kontribusi untuk menambah kekayaan mereka. Orang kecil dianggap slilit di gigi mereka.
Kebijaksanaan duniawi juga tampak dalam cinta yang mendalam akan kenikmatan. Mereka akan mencari segala hal yang membuat panca indra mereka menjadi nyaman dan nikmat. Bila mereka hanya ingin bersenang-senang dan menikmati hari ini. Bila mereka menjauhkan diri dari segala bentuk matiraga atau hal yang tidak menyenangkan bagi tubuh, seperti berpuasa, laku tapa dan olah jiwa lainnya. Bila otak mereka hanya penuh dengan makan, minum, bermain, tertawa ria, persta pora, rekreasi, dan mengisi semua waktu secara menyenangkan dan menulikan telinga hatinya kepada jeritan derita sesama di sekitarnya.