Lihat ke Halaman Asli

Fajar

PEZIARAH DI BUMI PINJAMAN

Aneka "Idol" dan Jalan Pintas Menuju Sukses

Diperbarui: 25 Juni 2015   03:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13401302741604093180

[caption id="attachment_183599" align="aligncenter" width="583" caption="Ilustrasi (dok.pribadi)"][/caption]

Kata Instan lebih terkait dengan makanan dan minuman "cepat saji" misalnya: Mie instan dan kopi instan. Dulu ketika ingin makan dengan sayur, harus ke kebun dulu, petik sayur, dibersihkan, siapkan bumbu, ditumis, baru sayurnya dimakan dengan nasi. Sekarang, cukup punya uang Rp 2000, ke warung, beli mie, diseduh dengan air panas, langsung nasinya bisa dinikmati dengan mie.

Dulu kalau ingin menikmati kopi, biasanya disangrai dulu persediaan kopi bijinya, ditumbuh, diayak, dan diambil tepungnya, baru bisa menikmati kopi hangat. Sekarang, pingin minum kopi, ke warung beli saja kopi jadi sebungkus, diseduh dan langsung bisa dinikmati kopinya. Dulu, kalau mau makan pisang, tunggu dulu sampai matang di pohon baru ditebang dan pisang ranum baru bisa dinikmati. Sekarang, pisang yang belum matang pun bisa langsung ditebang, diperam dengan karbit dan dalam waktu beberapa hari pisangnya bisa langsung dinikmati meskipun rasanya tidak semanis yang matang di pohon.

Yang berbeda dari kedua gejala ini, dulu dan sekarang adalah prosesnya. Sebelumnya, prosesnya relatif lebih lama, sedangkan sekarang relatif lebih cepat. Jadi, ada efektivitas cara kerja dan efisiensi waktu. Kualitas hasilnya yang dinikmati jelas jauh berbeda. Proses yang lebih lama memakan waktu tentu lebih memuaskan bagi yang suka menikmati proses. Sedangkan bagi yang lebih suka menikmati hasilnya, pasti cenderung memilih yang efisien dan efektif.

Yang dimaksudkan dengan budaya  di sini adalah soal pola pikir, gaya hidup, dan cara bertindak dari masyarakat tertentu. Dengan demikian, pola pikir, gaya hidup, dan cara bertindak yang instan bisa dikategorikan sebagai salah satu bentuk budaya baru dalam arti ini.

Sebagai sebuah pola pikir, gaya hidup, dan cara bertindak, sepertinya budaya instan ini lebih disukai banyak orang.

Kita mulai saja dari lingkungan pendidikan. Pola-pola instan ini mulai merasuki anak-anak kita dalam dunia pendidikan. Yang namanya nilai ketekunan dalam belajar dan studi untuk mendapatkan nilai bagus, sekarang diganti dengan nyontek, menanyai teman, menggunakan jasa joki, bahkan membeli ijazah dan gelar demi sebuah hasil yang semu. Tidak sedikit, kasus-kasus jalan pintas menuju sukses yang terjadi dalam dunia pendidikan.

Dalam dunia pertanian, banyak petani sekarang yang menggunakan jalan pintas untuk membasmi hama dengan menggunakan pestisida dan fungisida, daripada menggunakan kearifan lokal leluhurnya yang lebih ramah lingkungan dari segi jangka panjang. Banyak petani juga yang menggunakan herbisida untuk mematikan gulma di sawah maupun di ladang daripada berlelah-lelah mencakungkul atau mencabut rumput-rumputnya seperti yang dilakukan oleh leluhurnya. Para petani tidak pernah berpikir panjang bahwa efek jangka panjang penggunaan herbisida malah menguruskan tanah. Ada yang kemudian ngeles dengan alasan masih ada pupuk kimia yang mudah dibeli. Padahal segala bentuk pupuk kimia suatu ketika akan habis seiring langkahnya gas alami yang disedot dari fosil bumi yang menjadi  bahan baku utamanya.

Dalam dunia politik. Banyak orang  menghalalkan segala cara untuk menjadi orang nomor satu dalam sebuah lembaga atau instansi misalnya membeli suara dengan uang, membuat deal-deal politik tertentu, atau bahkan mengunakan cara-cara hitam untuk menjatuhkan lawan-lawannya. Prinsipnya: Yang penting aku nomor satu, tidak peduli kamu diinjak atau digencet.

Dalam dunia hiburan. Banyak orang memilih untuk menjadi cepat tenar melalui aneka idol dan ajang-ajang pencari bakat lainnya, daripada merintis karir mulai dari bawah secara pelan tapi pasti. Hasilnya, banyak yang cepat tenar bak jamur di musim hujan, tetapi cepat tenggelam seiring munculnya saingan-saingan baru dengan karya-karya mereka yang lebih berkualitas dan lebih diminati publik.

Dalam bidang pemerintahan. Pemerintah lebih suka memberikan ikan kepada masyarakat daripada memberikan kail seperti program Bantuan Langsung Tunai (BLT), misalnya. Mungkin pemerintah berharap dengan BLT masyarakat bisa memilih jenis kailnya sendiri yang sesuai dengan pofesinya masing-masing entah sebagai petani, tukang, buruh, atau nelayan. Padahal tidak semua masyarakat cerdas dalam hal penggunaanya. Ada yang langsung digunakan untuk kesenangan bapak keluarga semata misalnya: dihabiskan di meja judi dan di kelang sabung ayam atau membeli miras untuk diminum dengan rekan-rekannya. Begitupun dalam aneka kebijakan untuk menaikan Pendapatan Asli Daerah (PAD) di setiap kapubaten, banyak bupati yang lebih memilih menyerahakan tanah, air, hutan, dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya kepada investor untuk dikelolah daripada bersinergi dan memotivasi rakyatnya untuk mengelolah segala sumber daya alam yang ada untuk meningkatkan pendapatan perkapita setiap keluarga di daerahnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline