Lihat ke Halaman Asli

Fajar

PEZIARAH DI BUMI PINJAMAN

Sekolah dan Kampus Favorit Utopia

Diperbarui: 25 Juni 2015   04:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1338276915899285774

[caption id="attachment_179570" align="aligncenter" width="648" caption="Ilustrasi: Anak Pedalaman Belajar Membaca (Dok.Pribadi)"][/caption]

Hari-hari ini sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, para orang tua mulai sibuk mencarikan sekolah untuk anak-anaknya: baik yang akan masuk ke SLTP, SLTA, maupun Perguruan Tinggi. Pilihan orang tua pasti selalu di sekolah dan kampus yang terbaik. Rata-rata orang tua ingin menyekolahkan anaknya di sekolah-sekolah dan kampus-kampus favorit. Alasannya: mutu sekolah dan kampus yang terpercaya pasti akan turut mempengaruhi perkembangan anak mereka.

Namun kendala yang sering dialami oleh orang tua terutama dari golongan ekonomi lemah adalah: 1) sulitnya untuk diterima di sekolah-sekolah dan kampus favorit karena harus melalui mekanisme test masuk yang ketat; 2) sekolah-sekolah dan kampus favorit umumnya mahal.

Dengan demikian, sekolah-sekolah dan kampus favorit sesungguhnya telah mendapatkan calon murid dan mahasiswa cerdas dan kaya sejak seleksi masuk. Murid-murid dengan kecerdasan pas-pasan dan berasal dari ekonomi lemah akan terkumpul di sekolah-sekolah dan kampus yang bukan favorit dari segi mutu dan prosentasi kelulusan tiap tahun. Karena itu, saya tidak akan merasa kagum sedikitpun jika sekolah-sekolah favorit di kotaku yang prosentasi kelulusannya 100 % pada tahun ini. Mengapa? Pertama, mereka mempunyai guru-guru dan fasilitas pendidikan terbaik. Kedua, anak-anak didik mereka adalah anak-anak yang cerdas karena dijaring melalui seleksi masuk yang ketat. Sehingga tugas guru-gurunya tidak terlalu sulit alias tinggal memoles saja. Malah akan menjadi sebuah pertanyaan besar bagi saya adalah mengapa sekolah-sekolah favorit di kotaku ada juga yang prosentase kelulusannya tidak sampai 100?

Saya akan berdecak kagum ketika mendengar bahwa ada sekolah-sekolah dan kampus yang oleh banyak orang dianggap tidak favorit tetapi berani menerima murid-murid sisa (yang tidak lulus test masuk sekolah dan kampus favorit) dan berasal dari ekonomi lemah yang kemudian bekerja keras membimbing dan mendidik anak-anak tersebut, sehingga pada akhirnya prosentase kelulusannya pada tahun ini tidak jauh berbeda bahkan menyaingi sekolah-sekolah favorit. Mengapa? Karena pihak sekolah dalam keminiman fasilitas yang mereka miliki telah bekerja ekstra keras untuk membimbing dan mendidik anak-anak biasa lagi miskin menjadi luar biasa. Dan saya rasa di sinilah lokus dan fokus dari sejatinya pendidikan itu. Menjadikan yang biasa-biasa dan miskin kemudian menjadi luar biasa dan akhirnya bisa bersaing di panggung kehidupan bersama yang sudah kaya dari orang tuanya.

Hal yang sama terjadi juga dengan syarat umum beasiswa. Hampir jarang ditemukan beasiswa pendidikan yang diperuntukan bagi anak yang dianggap "bodoh" dan miskin. Biasanya para penyedia jasa beasiswa selalu mematok standar dasar bahwa "yang akan dibeasiswa adalah anak-anak dengan kualitas intelektual mampu (cerdas) tetapi kurang mampu secara finansial." Dengan demikian, anak-anak bodoh dan miskin semakin bodoh dan semakin miskin. Karena itu, dalam sebuah pertemuan internal untuk alokasi dana sosial dari sebuah lembaga penyedia beasiswa, saya menggugat kriteria tersebut. Saya katakan: "ubahlah paradigma tersebut, jika kita ingin serius berpihak pada yang paling miskin dari yang miskin (Preferential option for the poor)." Karean bagi saya, yang miskin dari yang paling miskin dalam konteks kita di Indonesia ini adalah anak-anak yang sudah bodoh lagi miskin. Jika kita serius dengan misi tersebut, maka seharusnya kita memberdayakan juga anak-anak "bodoh" dan miskin. Jika tidak, maka secara tidak langsung kita akan terjebak dalam arus umum saat ini: yang pintar dan kaya akan dibuat semakin berjaya, yang bodoh dan miskin akan semakin terpuruk. Pantaslah jika kemudian yang menguasai dunia ini bukan mereka-mereka yang miskin dan bodoh tetapi mereka yang kaya dan pandai.

Dua fenomena di atas bagiku merupakan 2 hal yang harus dikritisi karena sangat tidak berpihak kepada mereka yang bodoh dan miskin. Bayangkan bagaimana rasanya menjadi orang yang miskin dan bodoh. Bagaimana mereka bisa mengubah nasibnya, jika akses ke pendidikan formal sudah terbentur pada kualifikasi-kualifikasi yang ditetapkan sekolah dan penyedia jasa beasiswa?

Dari sebab itu, bagiku sekolah dan kampus favorit BUKANLAH sekolah dan kampus yang mencerdaskan anak-anak yang pada dasarnya sudah cerdas dan mampu secara finansial. Tetapi sekolah-sekolah yang berani menerima anak-anak miskin dan bodoh dan kemudian bekerja ekstra keras mendidik anak-anak tersebut agar bisa terdidik dan tercerahkan kemudian melalui pendidikannya mereka dapat berusaha keluar dari lilitan kemiskinan keluarganya.

Namun, apakah ada sekolah-sekolah dan kampus seperti itu di negeri ini di masa penuh persaingan ini? Jika belum ada maka semoga tidak akan terus menjadi sebuah utopia di negeri ini.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline