Lihat ke Halaman Asli

Fajar

PEZIARAH DI BUMI PINJAMAN

Flores, Pulau Bunga Miskin Geliat Pariwisata

Diperbarui: 25 Juni 2015   05:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1337582819860507386

[caption id="attachment_178230" align="aligncenter" width="648" caption="Pantai Pota Berpasir Putih (dok.pribadi)"][/caption]

Ketika masih berkuliah di Bandung, seorang dosen pernah menyebut bahwa Pulau Flores yang artinya Pulau Bunga hanyalah sebuah fatamorgana. Mengapa disebutnya fatamorgana? Menurutnya, dari penuturan banyak orang yang sudah ke Pulau Flores dikatakan bahwa Pulau Flores hanya berisikan padang belantara, dipenuhi savana, dan stepa yang identik dengan kata kering-kerontang, gersang, panas, dan sangat tidak menarik untuk dilihat. Karena itu, menyebut pulau ini sebagai Flores (Pulau Bunga) baginya hanya sebagai sebuah fenomena fatamorgana agar orang-orangnya kerasan mendiami Pulau yang sebenarnya gersang ini.

Kata-kata dosen filsafat sosial-ku ini sangat menohok di ulu hati saya sebagai orang kelahiran Pulau Bunga ini. Benarkah demikian? Apakah hal ini merupakan sebuah apriori dari orang yang hanya melihat sesuatu hal dari jauh? Karena fatamorgana memang hanya bisa terlihat di kejauhan. Untuk di beberapa tempat di Pulau ini terutama di wilayah Pantai Utara di bagian tengah dan timur dari pulau Flores banyak dijumpai padang savana dan stepa. Akan tetapi, di tempat-tempat lain tidaklah demikian.

Termotivasi oleh anggapan yang sedikit keliru dari salah seorang dosenku ini yang mungkin saja mewakili anggapan sebagian besar penduduk Indonesia, maka dalam sebuah perjalanan di sela-sela waktu liburanku, pada Kamis 17 Mei-Sabtu 19 Mei, aku mengunjungi perkempungan-perkampungan di pantai utara Pulau Flores, tepatnya dari Kota Ruteng menuju Reo dan dari sana menuju Pota dengan menggunakan sepeda motor.

Perjalanan dari Kota Ruteng yang berhawa sejuk (dingin) menuju Reo (Kota Pelabuhan Kapal Barang) yang berhawa sangat panas bisa ditempuh dengan sepeda motor dalam waktu 2 jam dengan kecepatan rata-rata 60-80 Km perjam dan bisa menghabiskan bensin di tanki sepeda motor sebanyak 2 liter.

[caption id="attachment_178176" align="aligncenter" width="583" caption="Persawahan Lodok (Membentuk Jaring Laba-Laba) di Karot dengan Latar Pegunungan (dok.pribadi)"]

1337562060582234843

[/caption]

Kondisi jalan dari Ibu Kota Kabupaten Manggarai ini menuju Kota Pelabuhan, setengahnya mulus, setengahnya berlubang-lubang dan masih dalam proses pelebaran dan pembenahan. Jalannya berlika-liku menyusuri tebing-tebing pegunungan dan sedikit curam setengah jam sebelum memasuki Kota Reo.

[caption id="attachment_178177" align="aligncenter" width="583" caption="Salah Satu Ruas Jalan di Antara Bongkahan Batu Besar di Wilayah Gapong (dok.pribadi)"]

13375623881930537803

[/caption]

Pemandangan khas sejak keluar dari Kota Ruteng menuju Reo adalah pegunungan-pegunungan tinggi dengan hutan-hutan alam yang rimbun, persawahan penduduk dan perkebunan kopi, cengkeh dan coklat milik penduduk Manggarai.

[caption id="attachment_178178" align="aligncenter" width="583" caption="Perkampungan, persawahan, dan perkebunan penduduk di atara pegunungan (Dok.Pribadi)"]

13375628221462358722

[/caption]

Sesampai di Reo-Kota Pelabuhan barang, kita akan langsung merasakan panas khas pesisir pantai. Jadi dalam waktu beberapa menit perjanan, perubahan iklimnya langsung terasa: dari dinginnya pegunungan langsung beralih ke panas. Siap-siap jaket tebal ditanggalkan jika ingin merasa nyaman. Reo meskipun menjadi Kota Pelabuhan andalan distribusi barang termasuk BBM untuk wilayah Manggarai belum bisa dikatakan ramai. Suasana kotanya masih sepi untuk ukuran Kota Pelabuhan di tempat lain.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline