Lihat ke Halaman Asli

Fajar

PEZIARAH DI BUMI PINJAMAN

Apakah Anda Generasi Hibrid Juga?

Diperbarui: 25 Juni 2015   06:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13352000101217594750

[caption id="attachment_173335" align="aligncenter" width="605" caption="Sumber Ilustrasi: myspace.com"][/caption]

Seorang rekan campuran Jawa-Flores sering diledek teman-temannya sebagai “manusia diantara.” Bukan “di antara ada dan tiada,” tetapi lebih sebagai gurauan akan ketidakjelasan identitas kultural yang dimilikinya. Hal ini membuatnya selalu merasa keki dan serba salah.

Di antara teman-teman yang bersuku sama dengan Ibu-nya, ia sering mengaku Jawa. Namun, kejawaannya sering dipertanyakan lantaran kulitnya hitam dan rambutnya keriting. Dia semakin terpojok ketika teman-temannya berbicara menggunakan Bahasa Jawa. Dia merasa semakin tidak bisa in dalam komunitas Jawa yang dimasukinya. Karena dia lahir dan dibesarkan di Jakarta dengan gaya bicara Betawi. Tidaklah mengherankan di kalangan teman-temannya yang bersuku Jawa ia sering diolok Jawa Keriting.

Hal ini tidak jauh berbeda ketika dia mengaku Flores-Ende berdasarkan suku ayahnya. Ketika diajak  bicara bahasa Ende-Lio, dia pun bingung karena di rumah ayahnya tidak pernah mengajarkan bahasa ibunya. Dia pun merasa terasing dalam keluarga Flores.

Inilah kenyataan yang harus dialami oleh anak-anak “generasi hibrid” dewasa ini. Di era global di mana pertukaran informasi dan mobilitas manusia semakin tinggi, peluang meningkatnya populasi generasi hibrid semakin terbuka. Hal ini membuat banyak generasi hibrid gamang dalam upaya mengidentifikasikan dirinya dengan kebudayaan tertentu. Mereka sebenarnya telah dikondisikan untuk memeluk budaya global yang mengatasi sekat-sekat tradisional. Bagi mereka budaya mereka adalah “budaya hibrid.” Yang namanya “hibrid” berarti campuran antara aneka kebudayaan yang tidak bisa lagi disamakan dengan budaya asal. Karena itu, “generasi hibrid” ini akan menjadi penggerak model-model kebudayaan baru yang kadang-kadang mengejutkan dan membuat generasi tua mengeluh karena sulit dipahami.

Gejala “hibrid” ini bukan hanya dialami oleh anak-anak buah perkawinan hibrid dari dua kebudayaan yang berbeda, tetapi sebenarnya menggejala dalam era postmodern ini. Di era ini, tidak ada lagi yang bisa mendaku sebagai aku berbudaya asli ini atau asli itu. Yang namanya proses hibrid dan mixing dengan aneka kebudayaan lain sudah takterbendung lagi. Originalitas tidak dapat diklaim oleh seseorang atau sekelompok orang. Karena ada unsur-unsur baru yang bertambah, berubah, atau dimodifikasi setelah perjumpaan dengan budaya lain yang telah mengglobal. Gejala musik dengan genre kolaborasi merupakan salah satu indikator ke arah era hibrid ini.

Dengan demikian, bersiap-siaplah untuk dengan lapang dada harus mengakui bahwa yang asli itu tidak ada. Yang ada dan kita miliki, kita rasakan, kita kenakan, kita hidupi adalah campuran dari berbagai macam hal. Apakah anda termasuk dalam golongan "generasi hibrid" juga?




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline