[caption id="attachment_172469" align="aligncenter" width="518" caption="Meski tanpa seragam lengkap dan alas kaki kami tetap ceria (Dok. Pribadi)"][/caption]
Keterbatasan membuat hidup manusia jadi lebih kreatif. Ketika bertugas di kampung-kampung pedalaman entah di Kalimantan maupun di Flores, saya melihat sebuah kenyataan yang mengagumkan dari anak-anak kampung. Mereka memang sederhana. Ke sekolah setiap hari tanpa alas kaki melewati pematang sawah, hutan, rawa, dan menyeberangi sungai bukan perkara sulit bagi mereka. Pakaian mereka seadanya sebab jarang saya jumpai yang berpakaian seragam lengkap mulai dari topi, dasi, kemeja, celana, kaus kaki dan sepatu. Hanya satu atau dua murid saja yang kebetulan anak guru atau pegawai kecamatan yang biasanya berpakaian lengkap. Kemeja yang dipakai pun tidak pernah diseterika dan banyak noda-noda bekas nanah pepohonan yang mereka panjat atau buah yang mereka petik dan makan.
Meskipun demikian, saya tetap melihat wajah-wajah penuh optimisme, keceriaan, kebebasan, dan suka cita yang mendalam terpancar dalam hidup mereka. Ke sekolah bagi mereka sepertinya bukan beban karena tidak dikejar-kejar tugas yang padat atau pelajaran ekstra. Mereka menjalani hidup seperti air yang mengalir tanpa ada target-target tertentu yang harus dicapai dalam usia mereka yang sepantasnya masih harus menikmati hidup sebagai anak-anak.
Satu hal yang menarik dan umumnya saya jumpai dalam diri anak-anak keluarga sederhana di kampung-kampung adalah kreativitas dalam menciptakan banyak hal untuk menyenangkan hati mereka dan teman-teman. Bagi mereka yang tingggal di kampung dan jauh dari kota, sulit bagi mereka mendapatkan mainan jadi dari toko atau kios. Dari sebab itu, mereka dipaksa situasi untuk belajar membuat alat-alat permainan mulai dari yang tradisional khas budaya mereka maupun permainan modern.
[caption id="attachment_172470" align="aligncenter" width="512" caption="Pohon pun Menjadi Tempat Kami Bermain dan Melatih Ketangkasan (Dok.Pribadi)"]
[/caption]
Ada banyak jenis permainan yang sering saya temukan di antara mereka misalnya: permainan gasing, layangan, mobil-mobilan dari bahan kayu, senjata dari kayu, layangan kertas, bola kertas, dll. Semua jenis permainan ini umumnya dikerjakan mereka sendiri baik secara pribadi maupun bersama-sama dengan rekan sebaya di luar jam sekolah.
Misalkan saja setelah musim panen, biasanya anak-anak mulai membuat "gasing" dari bahan kayu. Kayu yang dipilih umumnya kayu-kayu yang cukup kuat dan tidak mudah retak atau pecah. Anak-anak di perkambungan Dayak biasanya membuat sebuah "gasing" seukuran genggaman tangan mereka dari kayu Tekam, Meranti atau Belian. Biasanya kayu-kayu ini dibentuk secara lonjong dengan dua ujung yang ditajamkan untuk dijadikan sebuah gasing dengan ukuran panjang sekitat 10-15 cm. Gasing ini akan dililitkan dengan tali secara melingkar di bagian tengahnya dan diputarkan di atas tanah dataran. Gasing akan berputar di atas tanah menuruti arah putaran tali di tangan pemainnya.
Untuk bermain gasing tidak bisa sendirian. Permainan gasing hanya mungkin ketika ada beberapa orang teman sebaya yang dibagi dalam dua kelompok. Setiap kelompok akan secara bergiliran memutarkan gasingnya untuk diadu dengan gasing dari kelompok lain. Kelompok yang lain ini harus mematikan putaran gasing kelompok pertama dengan cara melemparkan gasing di tangan mereka yang juga dalam kondisi terlilit tali ke arah gasing lawan yang sedang meliuk-liuk di tanah dari jarak tertentu yang telah disepakati. Gasing yang dilemparkan harus menyentuh gasing lawan yang sedang berputar dan harus dalam posisi ikut berputar di tanah setelah menyentuh gasing lawan.
Kemenangan ditentukan oleh lamanya putaran kedua gasing setelah bersentuhan. Apabila gasing yang dilemparkan berputar lebih lama di atas tanah, maka kelompoknya boleh memasuki level permainan berikutnya yakni melempar dari jarak yang lebih jauh lagi dari sebelumnya. Jika tidak, maka mereka-lah yang menjadi kelompok yang harus memutarkan gasingnya di atas tanah untuk dilemparkan oleh gasing dari kelompok pemenang tadi. Ketika memainkan gasing terasa sekali bahwa anak-anak ini sangat menikmatinya bersama kawan-kawan. Ada saja anak yang kemudian menangis ketika gasingnya dipecahkan oleh gasing lawan dan diolok-olok sebagai "gasing bencong." Karena itu, mereka selalu berlomba-lomba mencari kayu yang terkuat agar tidak mudah pecah ketika dihantam gasing lawan.
[caption id="attachment_172478" align="aligncenter" width="518" caption="Keceriaan dan Kecerdasan Kami Ditentukan oleh Ruang Serius Tapi Santai/Belajar Sambil Bermain(Dok.Pribadi)"]
[/caption]
Permainan layangan. Jangan berpikir bahwa anak-anak ini membeli layangan di pasar, toko, atau kios. Biasanya mereka akan membuat layangan sendiri ketika musim panas tiba di mana ada angin yang cukup kuat berhembus di wilayah mereka. Apabila mulai terasa ada angin, maka anak-anak akan segera membuat layangan dari bahan dasar limbah. Biasanya lidi atau pecahan bambu dijadikan kerangka layangan yang disambungkan dengan menggunakan akar-akar hutan. Kemudian kerangka-kerangka dari lidi yang telah dibentuk menurut selera pribadi ini akan direkatkan dengan kantong-kantong kresek bekas yang dicuri dari dapur ibu mereka. Umumnya, kantong-kantong kresek untuk ibu-ibu di kampung amat berharga untuk menyimpan banyak hal. Dan biasanya akan raib ketika tiba musim layangan. Setelah layangan dibuat, anak-anak ini akan berjejer di lapangan yang cukup luas dan terbuka. Layangan tidak pernah dimainkan sendiri. Semuanya tetap dimainkan dalam kelompok, karena akan diadu ketinggian layangan serta layang-layang yang sedang mengudara akan disabung oleh para pemiliknya. Layangan yang putus atau jatuh setelah ditabrak oleh lawan langsung dinyatakan kalah. Wajah-wajah penuh kekaguman akan terpancar dari anak-anak ini ketika mereka sedang memainkan layangan.