Lihat ke Halaman Asli

Fajar

PEZIARAH DI BUMI PINJAMAN

Hidup Di Antara Orang Dayak Tamambaloh Pedalaman-Perbatasan (4)

Diperbarui: 25 Juni 2015   07:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13323807821139594373

[caption id="attachment_167591" align="aligncenter" width="448" caption="Sungai Embaloh Yang Jernih dengan Hutannya Yang Lestari Menjadi Pembentuk Identitas Kultural Orang Tamambaloh (Dok.Pribadi)"][/caption]

Gambaran Umum Masyarakat Adat Tamambaloh

Sejarah Masyarakat Adat Tamambaloh

Asal kata Tamambaloh berasal dari sebutan “maam lalo” artinya “baik adanya” yaitu: tanahnya subur, ikannya banyak, alamnya luas, dengan burung dan margasatwa, serta pohon dan tumbuhan yang beraneka ragam.

Menurut penuturan kaum tua, penyebutan ini bermula dari perjalanan rombongan besar nenek moyang yang tinggal tersebar di Batang Bunut (Bunut Hilir) yang kemudian mudik mencari daerah baru ke Nanga Embaloh. Di Nanga Embaloh ini mereka mulai bermukin dan berladang. Ada yang berladang di pesisir Kapuas dan ada juga yang berladang di pesisir sungai Tamambaloh. Dari hasil panen antara kedua tempat ini ternyata yang berladang di pesisir Sungai Tamambaloh lebih banyak hasil padinya daripada yang berladang di pesisir Kapuas. Kelompok yang berladang di pesisir Tamambaloh disebut tau maam lalo artinya: orang yang kaya (banyak padi). Berdasarkan hasil panen ini, para pemimpin rombongan (samagat) berunding untuk menentukan sikap: apakah melanjutkan perjalanan menuju Sungai Kapuas atau masuk dan mudik ke Batang Sungai Tamambaloh untuk menjajaki wilayah perhuluan Sungai Tamambaloh. Kemudian diutuslah beberapa orang untuk menjelajahi Sungai Tamambaloh. Sekembalinya para utusan ini, mereka mengatakan bahwa daerah perhuluan Sungai Tamambaloh layak untuk dihuni dengan menyebutnya sebagai banua maam (daerah baik) karena subur.

Para Samagat kembali berunding untuk menentukan sikap. Dari hasil perundingan itu, terdapat dua pilihan sikap: ada yang setuju masuk ke Sungai Tamambaloh dan ada yang setuju melanjutkan perjalanan ke Hulu Sungai Kapuas. Rombongan yang masuk Sungai Tamambaloh mudik, menyaksikan betapa subur, luas, dan menjanjikannya daerah ini untuk didiami. Mereka terpesona dengan keindahan alam di sepanjang pesisir Sungai Tamambaloh  dan mereka menyebutnya maam lalo artinya “baik adanya” yang di kemudian hari berubah menjadi Tamambaloh hingga saat ini.

Leluhur masyarakat Tamambaloh mulai berladang dari hilir secara berpindah-pindah sehingga sampai ke wilayah perhuluan Sungai Tamambaloh. Adapun daerah-daerah yang berada di wilayah hulu Sungai Tamambaloh yang pernah didiami (Pareoan Banuaka) oleh nenek moyang masyarakat Suku Dayak Tamambaloh secara  turun-temurun meliputi daerah Loben, Karob, Talie, Peang, Tungun, Dajo, Tukalan, Binalik, Banyu, Apeng, Batu Peti, Supape, Malit, Subali, Polo, Paset, Sadap, Mato, Sansulit, Talas, Pinjauan, Balimbis, Bukung, Karaam, Banujung, Talie, Nanga Sunge, Paat, Ulak Pao, Pala Pintas Timbaru dan Sangkoang Kuning sampai ke mPamari’an.

Sebagai bukti historis bahwa Suku Dayak Tamambaloh telah mendiami wilayah DAS Tamambaloh adalah adanya  tempat tinggal penduduk yang terdiri dari beberapa buah rumah betang (sao langke) sebagai ciri khas tempat tinggal Suku Dayak Tamambaloh. Adapun rumah betang (sao langke) suku Tamambaloh di wilayah tersebut meliputi:

1.Rumah betang Banyu dipimpin oleh Samagat Baki Guran, Baki Bato, Baki  Doa. Bekas hunian (belean sao) masih ada sampai sekarang dan bisa dijumpai di wilayah Bayu hulu Sungai Embaloh.

2.Sao langke Supape dipimpin oleh Baki Tumbungdaiyan, Baki Tangkuju, Baki Bangau, Baki Baran. Baki Baran bertunangankan piang Samarai dari Malit. Baki Tangkuju yang kisah hidupnya diceritakan lebih lanjut dalam hikayat Batu Mataso (Batu Matahari) oleh warganya. Jika kita pergi ke Supape, masih kita jumpai belean sao dan kulambu Piang Samarai.

3.Sao Lanke Malit dipimpin oleh Samagat Baki Sadau (anak bungsu dari Baki Rambing) dari saudara Baki Sangun, Baki Nyalai dan Piang Samarai. Adapun  suang saona (warganya) antara lain: Pelai, Awanga, Jalayan, Urom, Rambing. Riwayat hidu[p Baki Sadau dapat dijumpai dalam Sastra Baranangis.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline