[caption id="attachment_153066" align="alignleft" width="300" caption="Ilustrasi dari:ukhtiyfillah.wordpress.com"][/caption]
Ketika saya merayakan Natal, ada sahabat non Katolik yang mengucapkan: "hai bro selamat Natal ya, damai di hati, damai di bumi bagi kita semua." Saya jawab: "makasih ya." Tetapi ada juga yang tidak mengucapkannya, saya pun maklum, mungkin dia punya alasan tersendiri untuk tidak melakukan itu. Dan saya menghormatinya. Mengapa?
Karena iman saya tidak bergantung pada pengakuan manusiawi. Iman saya itu soal hubungan saya secara pribadi dengan yang saya imani. Ada atau tidak adanya ucapan selamat dari sahabat yang berbeda keyakinan dengan saya tidak akan mengurangi iman yang saya anut. Soal kebenaran iman itu urusan hati saya dengan Dia yang saya anut.
Tidak ada ucapan selamat Natal dari sahabat non Katolik pun tidak mengurangi sedikitpun keyakinan saya akan kelahiran Dia sebagai Sang Juru Selamat, karena saya yang lebih tahu esensi dari perayaan itu sendiri, bukan soal ritualnya, tetapi soal maknanya untuk kehidupan spiritual saya.
Karena yang saya rayakan adalah bagaimana teladan Dia yang mau merendahkan diri-Nya dalam peristiwa natal sebagai contoh bagaimana hendaknya membangun relasi dengan sesama.
Dengan demikian, saya tidak terlalu ambil pusing dengan ucapan selamat natal sekedar basa-basi demi "toleransi semu." Karena bagi saya toleransi sejati adalah membiarkan perbedaan itu saling memperkaya dan bukan melihat perbedaan sebagai ancaman akan eksistensi keyakinanku. Eksistensi keyakinanku bukan bergantung pada "toleransi semu" tetapi pada pemahaman yang mendalam bahwa yang berbeda itu dihargai keberadaanya, dibiarkan bertumbuh dan berkembang bersama dan bukannya diberangus demi aku yang mau eksis sendiri.
"Mari hargailah perbedaan sebagai kekayaan dan bukan sebagai ancaman."
salam berbeda
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H