Lihat ke Halaman Asli

Fajar

PEZIARAH DI BUMI PINJAMAN

AFTA 2015 dan Gugatan Terhadap Pemerintah Indonesia!

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebuah langkah positif dan pantas diapresiasi ketika Admin Kompasiana mau menggandeng Indonesian Scholars International Convention (ISIC) 2014 untuk memancing laporan dan opini warga tentang persiapan atau tepatnya kesiapan "Bangsa Indonesia Menghadapi AFTA 2015" melalui ajang Kompasiana-ISIC Blog Competition 2014. Meskipun ini merupakan ajang lomba dengan besaran hadiah yang tidak seberapa, tetapi pancingan ini cukup berhasil membangkitkan kesadaran pribadi untuk bertanya diri: apakah bangsaku telah siap dalam percaturan ekonomi liberal di tingkat ASIA ini?

Oleh Karena itu, tidaklah menjadi soal apakah artikel saya memenangi kompetisi ini ataukah tidak. Bagi saya, lomba ini hanyalah 'stimulus' positif untuk mengajak kita semua: "wahai saudara-saudariku sebangsa dan setanah air, bangunlah dari tidurmu! Kita mempunyai agenda bersama sebagai sebuah bangsa untuk menyambut AFTA 2015! Bagaimana kesiapan saya, anda, dan kita sebagai sebuah bangsa menghadapi tantangan sekaligus peluang ini?"

Harapannya 'ajang penghimpunan opini warga' yang berbalutkan kompetisi ini, tentu saja bisa membangunkan masyarakat Indonesia dan pemerintah untuk segera melakukan tindakan antisipatif dan terencana guna menghadapi AFTA dan MEA yang sudah di depan mata. Sebab 2015 yang menjadi titik dimulainya AFTA tidak lama lagi, yakni tinggal setahun lebih.

Apresiasi kepada kompasiana ini pantas diberikan karena melalui ajang ini, Kompasiana telah berperan membantu pemerintah untuk menggugah masyarakat yang selama ini belum akrab dengan AFTA. Karena kalau mau jujur, sepertinya gema AFTA 2015 masih belum bergaung sampai ke seluruh pelosok tanah air. Apalagi pemerintah Indonesia yang seharunya menjadi pelopor utama gerakan sosialisasi kesepakatan yang telah diratifikasi sejak tahun 1992 ini sepertinya belum optimal dalam mengampanyekan hal ini kepada seluruh masyarakat Indonesia. Coba tanyakan warga di sekitar kediaman kita: "apakah mereka tahu dan mengerti bahwa Indonesia akan menghadapi AFTA dan MEA pada 2015 mendatang?" Saya yakin, seyakin-yakinnya, dari limapuluh warga yang anda tanyakan, anda pasti hanya akan menemukan bahwa hanya satu yang sedikit tahu tentang hal ini. Jangan ditanya lagi lebih jauh lagi kepada mereka: apa persiapan anda secara pribadi untuk menghadapinya? Bisa jadi anda akan menemukan jawaban: "emangnya gue pikirin, itukan urusan pemerintah!"

Lantas, siapakah yang patut disalahkan ketika anda akan menjumpai jawaban 'malas tahu' atau 'ora urus' seperti ini? Tentu saja, lagi-lagi pemerintah! Karena merekalah yang empunya ide ini dan seharusnya merekalah yang paling gencar dan berada pada garis depan untuk mempromosikannya, menyosialisasikannya kepada seluruh elemen masyarakat Indonesia tentang rencana ini.

Rupanya semuanya ini memang bersumber dari satu hal bahwa faktanya pemerintah Indonesia belum mempunyai rencana kerja yang terukur dan sistematis untuk mempersipkan seluruh warga Indonesia menyambut AFTA dan MEA pada 2015 mendatang. Pemerintah lebih sibuk dengan urusan pencitraan politik demi kekuasaan semata. Pemerintah lebih sibuk mengurus partai politiknya guna meraih dan mempertahankan kekuasaan daripada mau berpikir dan bekerja secara bertahap dan berkesinambungan sejak 1992 guna menjadikan bangsa ini siap dalam berbagai bidang untuk menghadapi AFTA 2015. Hal ini terungkap dalam sebuah opini yang ditulis oleh Emil Abeng, salah seorangAnggota Komisi VI DPR RI pada 2013 lalu di harian Suara Karya.

Di dalam opininya ini, Emil Abeng menyatakan keprihatinannya bahwa "dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi Asia 2015, pemerintah Indonesia belum siap" (Suara Karya, 2013). Apa saja indikator ketidaksiapan itu menurut anggota DPR yang membidani dan memahami sungguh persoalan ini? Menurutnya hampir di semua lini, Indonesia dikatakan tidak siap. Mulai dari terus meningkatnya defisit Neraca Perdagangan Indonesia terhadap negara-negara ASEAN sejak 2005;  daya saing produk Indonesia yang lemah di tingkat ASEAN karena hanya mengandalkan bahan baku alam (raw material); lemahnya daya saing di bidang jasa yakni pariwisata dan pelayanan kesehatan dibandingkan negara ASEAN lainnya; rendahnya jumlah penanam modal asing (FDI) di Indonesia dibandingkan negaravSingapura, Thailand, dan Vietnam; dukungan alokasi dana bagi perbaikan infrastuktur (daya dukung investasi) yang kalah saing dengan negara-negara tetangga; sampai dengan kesiapan tenaga kerja ahli (SDM) yang belum memadai dan berpotensi kalah saing dibanding negara lain.

Semua indikator ketidaksiapan ini lantas membuat Sang Wakil Rakyat yang satu ini berujar pesimis bahwa Indonesia tidak siap untuk menghadapi MEA 2015! Apa alasannya? Beliau menuturkan secara lugas bahwanya: "pemerintah tidak memiliki strategi yang jelas, terukur, dan executable, dalam menghadapi MEA 2015" (Emil Abeng, 2013)

Kenyataan ini tentu amat memprihatinkan dan menjadi sebuah preseden buruk bahwa Indonesia memang belum siap untuk menghadapi AFTA 2015. Pemerintah Indonesia belum mempunya niat baik dan komitment serius untuk mempersiapkan bangsa ini menghadapi AFTA/MEA 2015 dengan sebuah strategi yang jelas  dan terukur. Bagaimana rakyatnya bisa siap ketika pemerintahnya saja tidak mempunya visi yang jelas terkait rencana ini?

Karena itu, tidaklah mengejutkan ketika hampir semua opini yang muncul terkait topik ini sejauh yang bisa dicari di mesin pencari (misalnya google) berisikan nada yang kurang lebih sama: optimisme berbalutkan kecemasan, ketakutan, bahwa Indonesia hanya akan menjadi penonton di era pasar global ASEAN. Bahwa AFTA/MEA 2015 hanya akan menjadi ajang menjadikan bangsa Indonesia menjadi 'pasar empuk' bagi produk-produk dan tenaga-tenaga ahli dari negara-negara ASEAN. Indonesia akan menjadi losser atau pecundang dalam percaturan ini!

Apakah kita mau menjadi pencundang, penonton, dan korban dalam percaturan ini ketika dalam waktu yang sempit menjelang AFTA 2015, bangsa ini justru masih harus berjibaku dengan suksesi kepemimpinan melalui pileg/pilpres 2014? Apakah semuanya ini lantas semakin mengaburkan fokus persiapan bangsa Indonesia menghadapi AFTA 2015 oleh karena para pemimpin akan jauh lebih berkonsolidasi untuk memenangkan pileg dan pilpres 2014?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline