Lihat ke Halaman Asli

Fajar

PEZIARAH DI BUMI PINJAMAN

Cara Memotong Mata Rantai Kekerasan

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

[caption id="attachment_296909" align="aligncenter" width="400" caption="Ilustrasi (www.quickmeme.com)"][/caption] "Kamu telah mendengar firman: Mata ganti mata dan gigi ganti gigi. Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu. Dan kepada orang yang hendak mengadukan engkau karena mengingini bajumu, serahkanlah juga jubahmu. Dan siapapun yang memaksa engkau berjalan sejauh satu mil, berjalanlah bersama dia sejauh dua mil.  Berilah kepada orang yang meminta kepadamu dan janganlah menolak orang yang mau meminjam dari padamu. Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar. Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian? Dan apabila kamu hanya memberi salam kepada saudara-saudaramu saja, apakah lebihnya dari pada perbuatan orang lain? Bukankah orang yang tidak mengenal Allahpun berbuat demikian? Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna" (Mat 5:38-48)

*********

Kutipan di atas merupakan sebuah kelanjutan dari kotbah di bukit yang berisikan Sabda Bahagia yang Yesus ajarkan kepada para murid-Nya yang terdiri dari dua bagian penting. Keseluruhan Sabda Bahagia sebenarnya mengajak setiap orang beriman untuk mampu melampaui batas-batas hukum resmi Perjanjian Lama.

Isi Sabda Bahagia merupakan kepenuhan dan kesempurnaan hukum cinta ilahi yang diwujudnyatakan oleh Kristus sendiri. Karena itu dalam kenyataannya, kotbah di bukit bukan berisikan kata-kata hampa. Dalam kotbah di bukit manusia tidak berhadapan dengan norma tertulis. Manusia justru bertemu dan dihadapkan dengan sebuah pribadi yang hidup – yakni Allah sendiri. Allah yang hadir secara nyata dan sederhana di hadapan manusia. Allah yang tidak sekedar mengajarkan, tetapi membuktikan kebenaran kata-kataNya sediri dengan teladan hidupNya dari Betlehem hingga Kalvari-dari Inkarnasi hingga pengalaman Salib.

Yesus menghapus hukuman pembalasan dan Ia mengajak semua orang untuk menanggalkan setiap praktek balas dendam dalam Hukum Lama. Hukum pembalasan sejatinya bukan berasal dari pribadi-pribadi beriman. Bukan pula produk hukum yang lahir dari kedalaman refleksi batin. Hukum ini ditetapkan langsung oleh otoritas yang ada di luar diri manusia dengan roh keadilan yang sangat rapuh. Jauh dari spirit keadilan universal. Muara hukum ini hanya berakhir pada spiral kekerasan dan balas dendam. Upaya pencaharian keadilan gampang terjerusmus ke dalam hukum rimba. “Mata ganti mata, gigi ganti gigi”.

Upaya mencari perlindungan hukum terhadap tindakan ketidakadilan yang kita terima dari orang lain pada prinsipnya benar dan sah! Namun menuntut penghormatan terhadap hak-hak pribadi bukan berarti membenarkan cara-cara yang kejam dan bengis terhadap pelaku kejahatan. Permohonan keadilan bukan berarti pemenuhan upaya balas dendam.

Bagi pencari keadilan perlu upaya penyangkalan diri dari sikap dendam dan amarah. Roh Kristus mendasari moral kristen bahwa keadilan diperuntukan bagi kepentingan dan kebaikan bersama. Secara moral tidak dapat diterima jika upaya pencaharian keadilan dilakukan atas dasar benci dan balas dendam yang bertujuan hanya demi merusak dan menghancurkan pelaku kejahatan.

Hukuman yang setimpal bagi pelaku kejahatan adalah sah demi kesadaran dan perbaikan diri serta terjaminnya keamanan bagi hidup masyarakat. Namun tidak demi upaya pemenuhan balas dendam. Hukum arkais dan kuno menghidupi praktek hukum yang bengis dan keji terhadap pelaku kejahatan. Aspek ini ditolerir demi menghadirkan efek jera. Atas nama keadilan penghilangan nyawa dianggap layak. Yesus menghadirkan sebuah hukum baru yang melampui baik hukum arkais maupun kitab hukum perjanjian lama.

Yesus yang datang untuk menyempurnakan segala hukum di bumi mengajak semua orang beriman untuk ‘mencintai musuh’. Cinta terhadap musuh dengan memajukan kepentingan dan perkembangan mereka yang menghina kita, menjadi inti pewartaan hukum cinta Kristus. Tawaran ini diperuntukan bagi setiap orang yang tidak ingin tinggal dan berkutat dalam pola hukum lama yang kejam dan anarkis. Yesus hadir menawarkan perspektif baru demi kemajuan kemanusiaan universal sejati. Kemajuan ini hanya mungkin dicapai ketika di dasar hati manusia hidup roh cinta dan pengampunan. Dalam keadaan apapun – cinta terhadap musuh – tetap akan selalu menjadi imperatif moral yang mendasari sikap hidup orang kristen.

Kriteria ini yang membedakan para pengikut Kristus dengan orang lain. Kriteria inilah yang memungkinkan kita mengambil bagian dalam kekudusan sebagai anak-anak Allah. Tuhan ingin agar ‘kekudusannya’ yakni pemisahan diri dari kejahatan atau kepenuhan kebaikan itu – nampak dalam tingkah dan pola hidup umatNya. Benci dan balas dendam merupakan kejahatan karena itu harus dijauhkan dari hidup. Cinta dan belas kasih adalah kebaikan – karena itu harus selalu ada di dasar hati setiap manusia beriman. Kekudusan sejatinya tidak berarti hidup tanpa dosa namun lebih jauh menegaskan kepada kita untuk percaya dengan sungguh-sungguh kepadaNya bahwa Dia mampu melakukan karya-karyaNya yang ajaib dan besar dalam dan melalui diri kita.

Kebeningan nurani menuntun pola tindakan kaum beriman untuk tidak gampang jatuh pada penghakiman yang keji dan garang. Yesus melampaui dasar ketentuan hukum pembalasan dengan mengatakan kepada murid-muridNya: “Hendaklah hatimu selalu siap untuk tidak melakukan pembalasan, tidak melawan ketidakadilan dengan kekerasan!”

Balas dendam melahirkan balas dendam. Darah yang tertumpah selalu menuntut pertumpahan darah baru. Bagi mereka yang ingin menegakkan damai dengan menggunakan senjata dan perang – perdamaian akan semakin jauh. Sebab spiral kekerasan akan teruntai bagai labirin yang sulit terurai. Dasar-dasar kegembiraan dan perdamaian dalam hidup bersama hanya mungkin ada jika semangat dasar ini selalu tertanam dalam batin orang Kristen. Tanpa sadar, kita sering menjadi musuh bagi sesama ketika kita tidak memperlakukan orang lain dengan baik, tidak tuntas menghendaki kebaikan sesama dengan jujur dan tulus. Kita justru merasa gembira ketika orang lain ditimpa kemalangan, kita justru merasa puas ketika sesama menderita.

Lebih jauh Yesus mengungkapkan ajaran cinta yang bagi manusia pada zamanNya mengandung perbantahan: “Kamu telah mendengar firman, kasihilah sesamu manusia dan bencilah musuhmu. Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu – karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di surga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang baik dan menurunkan hujan bagi orang benar dan orang yang tidak benar”. Sabda Yesus ini adalah inti dari ajaran CINTA itu sendiri.

Sebuah hukum paling tinggi dari semua hukum di bumi karena meneladani perilaku Sang Pencipta. Sabda ini tentunya sangat menantang. Ditujukan kepada semua murid Kristus – juga bagi kita, agar mampu mencintai musuh dan berdoa bagi mereka yang melakukan kekejaman - sama seperti sikap Kristus dari atas kayu salib ketika Ia memberikan pengampunan bagi para lawan-lawanNya. “Bapa ampunilah mereka sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat!

Bagi setiap pengikut Kristus, tawaran cinta ini tidak dapat dibantah! “Apakah kita ingin menjadi anak-anak Allah? Jika ya, maka kita berlaku seperti Kristus, yang mewariskan cinta Bapa - yang menerbitkan fajar bagi orang baik dan orang jahat. Yesus telah menyempurnakan hukum cinta dengan menerapkannya dalam kesaksian hidup nyata – hukum cinta yang tidak pernah kenal batas – hukum cinta yang diwujudkan secara tuntas – memberi sampai habis dengan tidak memilah-milah siapa pemintanya.

Kesempurnaan Allah terdapat dalam belas kasihNya yang tiada tara, yang memandang setiap kemalangan dan dosa-dosa kita dengan mata hatiNya yang bening dan sempurna. Dengan berbelaskasih Allah serentak meminta kita untuk bersedia menjalankan belas kasih itu kepada sesama. Bagi setiap orang yang mengalami sentuhan rahmat ini tentu akan merasa bahagia. Tumbuh dalam dirinya sebuah optimisme, harapan baru untuk bangkit menjalankan hidup dengan lebih berarti.

Namun tidak jarang kita dihadapakan pada pertanyaan apakah kemanusiaan kita yang serba terbatas mampu menjalankan hukum cinta dan belas kasih Allah secara sempurna? Ataukah sampai pada batas tertentu kita segera menanggalkannya karena hukum cinta Allah tampak terlampau ideal?

Sangat manusiawi jika masih ada sikap marah kepada mereka yang membenci kita, namun Sabda Allah membantu kita untuk mengalahkan perasaan itu agar tidak lagi bergejolak di hati. Sebab lebih baik memiliki hati damai karena dapat mempersatukan dua hati yang bertikai atas dasar cinta dan pengampunan,daripada membiarkan amarah dan dendam itu bersemi di dasar hati. Amarah yang tertanam di dasar hati pada akhirnya merusak seluruh hidup.

Sangat manusiawi jika sesekali tetap muncul sisi gelap di dasar hati, tetapi berkat Sabda Allah, kita disadarkan untuk memanfaatkan sisi terang hati kita untuk mengalahkan hal-hal buruk yang ada dalam diri. Cinta yang Tuhan kehendaki agar kita perbuat adalah merubah secara total pandangan kita: “Titik perhatian bukan pada SAYA tetapi ORANG LAIN atau SESAMA”.

Saya akan mengerahkan seluruh kekuatan dan tanggung jawab tanpa pamrih demi mengembalikan harapannya yang hilang, keyakinan dirinya yang sempit, kepercayaan akan martabat dirinya yang sejati. Saya membantu sesama untuk merasakan bahwa dirinya tetap dihargai, dicintai dan dikasihi Allah. Memberikan kesempatan bagi sesama untuk berubah sekalipun jalan untuk mencapainya sulit, panjang dan berliku. Tak peduli siapapun dia,tetap cinta dan belas kasih itu akan saya beri. Semua demi pemakluman Cinta dan belas kasih Allah pada dunia walau segalanya harus ditempuh dengan segala keterbatasan diri. Dengan sikap ini akan menjadi mungkin upaya dan perjuangan kita untuk mengalahkan budaya kekerasan, ketidakadilan, ingat diri, yang sebenarnya sedang menghancurkan rancangan Allah – mimpi Tuhan sendiri.

Kita sadar bahwa tugas dan tanggung jawab ini tidaklah mudah. Namun kita mampu menjalankan tugas dan tanggung jawab ini dengan tetap mengandalkan kekuatanNya – berjalan bersama Dia. Membiarkan hati kita dibimbing oleh kuat kuasaNya. “Jika Kuasa Ilahi itu tidak menyentuh hati kita, kita tidak mampu menjalani tugas ini”. Kehendak yang kuat dan kerelaan untuk menjalankan hukum cinta perlu ada di dasar hati, namun semua itu belum menjamin sepenuhnya keberhasilan kita untuk mampu menjadi saksi cintaNya. Hati kita perlu disentuh Rahmat Allah yang datang dari atas agar segala yang tak mungkin menjadi nyata. Keajaiban kasih itu ada bagi mereka yang percaya!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline