Lihat ke Halaman Asli

Suara Duka: Lihat Senyumku... (Penuh dengan Duka)

Diperbarui: 24 Juni 2015   04:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Aaaaaaaaaaaaaaaaaa...."


Ingin sekali kuteriakkan huruf pertama alfabet itu. Rasanya tak karuan. Ingin kubagikan dan berharap kusutnya masalah diotak sedikit terurai. Namun untuk apa??? Pernah sudah kulakukan namun hasilnya, tak ada yang perduli. Mereka hanya memenuhi kebutuhan rasa ingin tahu akan masalahku kemudian mendengarkannya dengan seksama. Setelah kuselesai, selesai sudah, tak ada lagi jalan keluar. hanya sedikit pesan untuk bersabar dan TANPA SOLUSI.

Memuakkan memang, tapi itulah nyata.

"Dunia ini kejam Bung Darman!" kata kawanku disuatu sore.


Aku terhenyuh. Sesaat ku teringat akan semua yang terjadi padaku. 'Ternyata, dunia kejam tak hanya padaku. Namun pada temanku juga.' batinku menganalisa.

"Tapi kau beruntung! Kau punya segalanya. Kau dari kalangan berkecukupan. Sudah punya calon istri kabarnya." Tambahnya.



Aku hanya tersenyum. Batinku menolak, 'ah kata siapa, justru lebih parah rasaku sekarang!'

Esoknya, aku pergi ke pasar. Aku menaiki sebuah angkot yang nampaknya tak sarat penumpang. Disana, aku bertemu dengan kawan kecilku saat SD. Ditengah perjalanan, ia membuka obrolan dengan menyumpahi rekan kerjanya. Ia katakan bahwa, tak ada seorang pun yang benar-benar peduli akannya. Yang ia pikir baik, ternyata jauh dilubuk hatinya, mereka tak ingin jua dikalahkan. mereka rupanya berebut kekuasaan, atau sekedar berebut image di hadapan boss.  Ia terus menggerutu. 'Ternyata... dan ternyata. Dunia ini memang kejam'. Sesampainya di pasar, aku berpisah dengannya. Ia cepet-cepat pergi menuju penjual kain. Sesaat, bayangannya pun lenyap.

Hari itu, setelah kejadian itu, aku bertemu lagi dengan beberapa orang yang terus mengumpat akan ketidak pedulian orang akan kehidupannya. Ada yang memang bercerita langsung padaku atau pun bercerita dengan orang di sekelilingku dengan suara yang keras sehingga orang-orang disekitarnya bisa mendengar ceritanya dengan jelas, ya termasuk aku. Dari situ... aku bingung. 'Masa ia semua orang ini merasa dunia ini kejam? Ya termasuk aku! Iya termasuk aku! Namun, akankah dunia ini memang benar kejam pada kita? Atau kita kah yang kejam pada diri kita? Apa yang salah? Kita? Dunia? Atau persepsi kita?' batinku lagi, lagi dan lagi.

Beberapa saat terdiam kemudian muncul sebuah statement dari otakku. Entah benar, Entah salah. Entah bijak, entah egois.

'Sudahlah... Mulai saat ini mungkin lebih baik ku simpan ceritaku. Biarkan saja tak seorang pun yang tahu akan duka di hatiku. Sudah terlalu banyak orang yang hanya mengutuki keadaan saja. Menceritakan pada semua orang disekitarnya dengan alur seolah ia yang paling benar. Namun, ku pikir itulah cara mereka berlindung. Berlindung dari kesalahannya, berkamuflase didalamnya. Sudahlah, sudah. Biarkan saja ku simpan ceritaku, jangan paksa aku menceritakannya, karena suatu saat aku akan menceritakan ini dengan sendirinya. Iya nanti, nanti kalau aku sudah berhasil mengatasi masalah dihidupku. Aku akan bagikan caranya... Tunggu saja. Semoga tak lama. Sekarang, nikmati saja tiap senyumku yang kau lihat di wajahku. Aku takan bagikan dukaku padamu, tapi... aku kan slalu bagikan kebahagiaan untukmu, untuk kalian... Jika dunia ini memang kejam, biarkan aku sendiri yang tahu sekejam apa ia padaku. Toh... Aku tahu, Allah selalu bersamaku!' Batinku sebelum kemudian aku berlalu. Pergi ke kamar, lalu tidur. "Semoga mimpi indah!"


Catatan: Bersabarlah! Allah Maha Mengetahui.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline