Nama saya Ajeng Pratiwi usia tiga puluh tahun, seharusnya sudah menghadiahkan momongan cucu buat ibu. Saya adalah anak semata wayang dari seorang ibu tunggal. Lazimnya semua ibu yang sangat mencintai anak perempuan tunggalnya. Bapak meninggal ketika saya usia 5 tahun. Sejak bapak meninggal, ibu enggan mencari pengganti pendamping hidup. Ibu terbiasa jatuh bangun dan mendidik saya hingga dewasa seorang diri.
Saya termasuk wanita yang bisa dibilang orang-orang wanita karier yang sukses. Waktu saya banyak tersita untuk mengurusi semua urusan kantor, bahkan di rumah pun masih meneruskan pekerjaan. Tak aneh, satu tahun belakangan ini. Sudah ribuan kali ibu tanyakan hal yang sama, kapan saya nikah.
“Ndhuk, kapan kamu menikah?”Tanya ibu. Ndhuk adalah panggilan ibu kepada saya sejak kecill. Artinya panggilan terhadap anak perempuan tersayang seperti pada filosofi Jawa.
Kehidupan kami normal dengan fasilitas mewah hasil jerih payah selama saya dipercaya oleh boss menjalankan anak perusahaannya yang lagi berkembang. Kalau urusan masak, ibu selalu menyiapkan semua kebutuhan makan saya dari sarapan hingga makan malam. Apalagi kalau menyiapkan menu kesukaan saya Nasi Rawon, wah ibu adalah juaranya sejagat raya ini memasak menu itu.
Sejak remaja, ibu mewajibkan saya bisa memasak. Setidaknya, anak tunggal ibu menguasai menu nasi rawon resep keluarga turun menurun. Menurut ibu, rawon buatanku tak kalah enaknya dengan buatan ibu. Justru ibu yang lebih bahagia karena obsesinya saya menguasai masakan racikan keluarga tercapai.
Enam bulan terakhir, Ibu sakit-sakitan ditambah karena faktor usia. Ibu tak sanggup lagi menyiapkan makanan di rumah. Lagi pula, derasnya kesibukkan saya tugas luar kota membuat jarang pulang ke rumah. Kalaupun pulang, saya tinggal pesan makanan restoran melalui layanan pesan antar. Begitu seterusnya, setiap hari kami memesan makanan tinggal tekan layar handphone. Tak lebih dari tiga puluh menit, makananpun tiba.
Kondisi ibu terus melemah. Ibu hanya berbaring di kamar. Beranjak dari tempat tidurpun, ibu perlu dibantu suster atau saya. Setiap dua minggu sekali, dokter pribadi kami berkunjung memeriksa kondisi kesehatan ibu.
Suatu hari, saya mengambil cuti untuk menyiapkan waktu khusus berdua dengan ibu, sebelum saya tugas ke London selama empat pekan.
“Hari ini ibu ingin makan nasi rawon buatanmu. Ibu kangen sekali masakan buatanmu ndhuk,” kata ibu lirih dari atas tempat tidurnya.
“Baik ibu, Ajeng segera buatin buat ibu ya.” Titik air mata saya tak terbendung membayangkan beberapa bulan lalu ibu masih bugar dengan wajah khasnya senantiasa tersenyum.
Beberapa saat kemudian, saya kembali ke kamar dengan antusias membawa semangkuk rawon hangat dari resep racikan ibu.