Dilansir dari nasional.kompas.com menurut laporan Global Index Terrorim (GTI) tahun 2020 yang dirilis oleh Institute for Economics and Peace (IEP) menunjukan bahwa Indonesia berada di posisi ke-4 di wilayah Asia Pasifik dan berada di peringkat 37 dengan skor 4.629 dari 135 negara yang terdampak oleh terorisme dalam skala global. Jumlah ini tentunya menjadi tamparan bagi kita selaku masyarakat dan khususnya pemerintah, bahwasanya angka radikalisme di Indonesia masih tinggi, hal ini akan menciptakan dampak yang serius bagi negara apabila tidak ditangani dengan serius.
Sebelum menelaah lebih jauh kepada penanganan radikalisme di Indonesia, kita harus mengetahui apa itu Radikalisme dan penyebab munculnya Radikalisme?.
Radikalisme berasal dari kata radikal yang berarti secara menyeluruh, habis-habisan; amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan, dsb); maju dalam berfikir atau bertindak (Tim Penyusun Kamus, 2008: 1246). Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Radikalisme adalah 1. paham atau aliran yang radikal dalam politik; 2. paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis; 3. Sikap ekstrem dalam aliran politik. Dari perngertian diatas dapat diartikan bahwa radikalisme adalah suatu aliran yang mengingikan adanya revolusi sosial dan politik dengan cara kekerasan.
Didalam buku Kontra Narasi Radikalisme Membangun Keberagaman Inklusif di Indonesia karya Dr. Marzuki, M.Ag. dan Benni Setiawan, M.S.I., Muhammad Najib Azka (2013) menyebut bahwa radikalisme pemuda disebabkan oleh fase transisi dalam pertumbuhan usia yang dialami para pemuda yang membuat mereka lebih rentan mengalami apa yang disebut oleh ahli Psikologi Erik H. Erikson (1968) dalam Identity: Youth and Crisis sebagai ‘identity crisis’ (krisis identitas).
Dengan kata lain, radikalisme disebabkan oleh krisis indentitas karena fase transisi dalam pertumbuhan yang dialami para pemuda. Krisis identitas disebabkan oleh lingkungan sosial yang kurang mendukung dan kurangnya pengajaran yang diterima oleh anak tersebut sehingga menyebabkan pengaruh moral yang kurang baik terhadap anak atau pemuda tersebut. Oleh karena itu, peran orang tua sangat dibutuhkan dalam mengurangi pemikiran radikal yang diterima oleh anak.
Selain aspek tersebut, terdapat beberapa aspek lain yang memicu adaya pemikiran radikal seperti perbedaan ideologi. Selain itu radikalisme juga sering terjadi dalam konteks keagamaan, salah satunya adalah agama Islam. Penyebab radikalisme yang ada dalam agama islam adalah terjadinya otoritarianisme dalam diskursus hukum Islam kontemporer, atau sempitnya ilmu agama yang dimiliki seseorang sehingga memahami agama dalam satu sudut pandang dan merasa dirinya yang paling benar dalam pemahaman tentang agama islam sehingga tidak dapat menerima pendapat orang lain dan merasa bahwa orang lain harus sependapat dengan dirinya. Hal ini juga bisa terjadi karena pembelajaran tentang agama tidak bersumber dari guru yang tepat sehingga salah dalam menafsirkan al-Qur’an atau memahami Hadist. Hal inilah yang nantinya akan menyebabkan ternyadinya terorisme oleh kaum radikal.
Pemikiran radikal dalam beragama akan menimbulkan ekstrimisme dalam beragama, kasus inilah yang marak terjadi di Indonesia, terorisme yang mengatasnamakan agama atau menerapkan konsep jihad menurut perspektif mereka, salah satu contohnya adalah ledakan besar yang terjadi pada tanggal 28 Maret 2021 dihalaman Gereja Katedral, Makassar, Sulawesi Selatan. Ledakan tersebut diketahui terjadi karena adanya dua pelaku bom bunuh diri yang mengatasnamakan jihad fi sabilillah, kasus lainnya juga terjadi pada tiga gereja di Surabaya dan masih ada beberapa contoh serupa, hal ini bertentangan dengan ajaran setiap agama khususnya islam yang menginginkan perdamaian.
Terdapat beberapa ayat yang menggambarkan islam sebagai agama yang damai, bahkan islam sebagai rahmatan lil a’lamin atau agama yang menciptakan kasih sayang bagi semesta alam. Lantas bagaimana langkah kita sebagai umat muslim untuk menghilangkan paham radikalisme, ekstrimisme dan terorisme guna mewujudkan kembali islam rahmatan lil a’lamin?.
Terdapat beberapa cara yang dapat menangkal pemikiran radikal, seperti mensyiarkan paham beragama yang baik, membina masyarakat dalam membentuk ideologi agama yang tepat dan tidak menyimpang, mendidik karakter anak sejak dini dengan menanamkan nilai-nilai perdamaian dan toleransi terhadap perbedaan. Selain cara-cara yang telah disebutkan, terdapat cara lain yang bisa dilakukan dalam menangkal paham radikal dalam beragama yaitu dengan peran sufisme atau penanaman ajaran tasawuf.
Dalam buku Akhlak Sufi karya Dr. H. Dudung Rahmat Hidayat disebutkan bahwa sufisme atau yang dikenal dengan tasawuf adalah perilaku pembersihan diri (tazkiyatun nafsi), serta sifat terpuji dalam setiap ucapan (Al-Qusyairi, 2006 : 345). Tasawuf mengajarkan ilmu tentang bagaimana cara mendekatkan diri kepada Allah SWT, dengan menyucikan diri dari segala bentuk perbuatan yang dilarang oleh Allah SWT, para sufi diwajibkan untuk menjauhi segala maksiat dan memperbanyak ibadah kepada Allah SWT. Para sufi juga diwajibkan untuk berusaha menjauhkan apa-apa yang bisa membuat terlena terhadap nikmat dunia dan menjadikan ridha Allah sebagai satu-satunya tujuan.
Ajaran tasawuf tidak terlepas dari ajaran dan nilai-nilai agama Islam, bahkan ajaran tasawuf ditujukan untuk lebih mengenal dzat sang Pencipta. Terdapat 4 tingkatan spiritual dalam ilmu tasawuf yaitu syariat, tarekat, ma’rifat, dan hakikat. Syariat adalah tingkatan spritual paling rendah dalam ilmu tasawuf atau dapat dikatakan sebagai jalan mula untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan menjalankan hukum Allah, dilanjutkan dengan tarekat, hingga mencapai tingkat hakikat. Hakikat sebagai tingkat spiritual tertinggi dalam ilmu tasawuf adalah sebagai tujuan akhir para sufi dimana mereka mampu mengenal Allah dengan perspektif yang jauh lebih dalam dari orang biasa, bahkan dapat mengetahui rahasia-rahasia ketuhanan.