"Uang bulanan sudah dikirim, hemat-hematlah!" bunyi SMS dari ibu. Sebenarnya masih ada kalimat berikutnya, tapi aku sedang tidak tertarik untuk membacanya. Maka buru-buru aku pergi ke kamar-kos-sebelah untuk meminjam motor kemudian menuju ATM terdekat, lengkap dengan rencana---akan ke mana aku setelah itu.
Demikianlah keadaanya, sudah hampir satu minggu ini aku kehabisan uang. Hutang jangan ditanya, bahkan sudah menumpuk di kantin kampus dan beberapa teman. Sesuai rencana sebelum berangkat tadi, sesampainya di gerai mesin ATM, hal pertama yang kulakukan adalah cek saldo: mendadak kegembiraanku hilang setengah.
Kiriman bulanan jumlahnya tidak berubah dari bulan-bulan sebelumnya, keluh kesahku tentang naiknya harga-harga tampaknya tak mengubah pendirian orang tuaku untuk sedikit berbelas kasih dengan menambah---sekadar untuk refresing---anaknya yang tengah di tanah rantau ini.
Tapi, ya sudah. Apa boleh buat. Aku tetap menariknya selembar, pecahan lima puluh ribu kemudian keluar dengan perasaan kecewa.
Ketika hendak menghidupkan mesin motor, seorang laki-laki tua mendekatiku. Ia menyorongkan tangan yang telah dipenuhi uang koin, lalu digerak-gerakkan: crik-crik-crik.
***
"Berapa, pak?"
Lelaki tua itu hanya mengangkat jari tengah dan telunjuknya, tak sepatah kata pun ia ucapkan. Mungkin maksudnya adalah dua ribu rupiah. Dengan terpaksa kuambil satu-satunya uang yang masih hangat dari dalam dompet, kuserahkan dengan perasaan takrela---dan berharap laki-laki tua di hadapanku ini tak memiliki kembalian dan membebaskanku dari biaya parkir.
Ternyata tidak demikian, si Jukir Tua tetap mengambil uang yang kusodorkan kepadanya meskipun dengan tangan yang bergetar-getar.
Dengan gerakan mundur dan sangat pelan, ia memasukkan jatah uang bulananku ke dalam tas pinggangnya. Rupanya, di dalam tas pinggang yang berwarna muram itu aku melihat berderet-deret uang kertas dari berbagai macam pecahan.
Ia tampak lebih sejahtera dibandingkan diriku. Lalu si Jukir Tua menjilat telunjuknya, mengambil selembar demi selemabar uang dari dalam tas pinggangnya, menghitungnya, kemudian menyerahkannya kepadaku. "Sebentar, nak, masih kurang delapan ribu." Kini ia menghitung uang logam di tangannya, receh tidak apa-apa?" lanjutnya---dan tanpa menunggu ketersediaanku, ia menyerahkan uang koin miliknya kepadaku. "Pas!".