Lihat ke Halaman Asli

Dari Kegelapan Menuju Cahaya

Diperbarui: 16 Mei 2019   13:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi itu aku bangun. Aku mendapati diriku sedang duduk disamping ranjang yang semalam aku tiduri. Bedanya, kali ini aku berada di samping diriku yang sedang terbaring.

Anakku nampak sedang duduk disamping ranjang, menangis. Aku berusaha mencoba untuk berkata-kata. Apa daya, dia tidak mendengarku. Hanya isak tangis yang aku dengar darinya. Ya, dia tidak bisa mendengar dan melihatku, namun suaranya bisa dengan jelas dan jernih aku dengarkan.

Nampaknya jiwaku telah meninggalkan ragaku pagi itu. Aku bingung, tidak tahu harus berbuat apa. Beberapa orang tetanggaku mulai datang. Mereka nampak memindahkan jasadku ke ruang tengah, ruang dimana aku biasa bersenda gurau dengan orang-orang yang aku kasihi dan sayangi.

Kemudian datang satu orang yang aku kenali wajahnya. Dia adalah seorang pengurus jenazah yang sekali waktu pernah membantuku mengurus jenazah tetanggaku beberapa tahun yang lalu. Baru kemarin malam aku mengganti dan memakai bajuku sendiri, rupanya kali ini seseorang melakukannya untukku.

Kain kafanpun dibentangkan, disaat yang sama tubuhku dipindahkan ke tempat permandian jenazah. Terlihat dua gayung kecil untuk menyirami jenazah dan selang air bersih.

Kali ini kamar mandi yang biasa aku gunakan sehari-hari tidak aku gunakan lagi. Aku dimandikan didepan rumahku. Annakku dan sang pengurus jenazah mulai menyiramkan air yang begitu dingin terasa di sekujur tubuhku.

Sesaat setelah kain kafan digelar dan dipotong, tubuhku pun dibaringkan diatasnya. Kain murah berwarna putih itu mulai dililitkan ditubuhku yang sudah selesai dimandikan.

Beberapa waktu kemudian datanglah kedua orangtuaku, kakak-kakakku, adikku dan mantan istriku. Ya, beberapa tahun yang lalu kami berpisah. Tidak nampak kesedihan diwajahnya. Hening, diam seribu bahasa dengan raut bingung. "Bagaimana kondisi si mayit?", tanya kakakku. Ya, bahkan namaku pun sudah tidak disebut lagi, hilang bersama ragaku yang masih terpaku melihat semua yang ada dihadapan.

Satu persatu tetangga berdatangan diiringi isak tangis keluargaku yang mulai terdengar. Suara tangis yang membuat telingaku sakit. Lantunan ayat-ayat suci Al-Qur'an yang terdengar bisa sedikit mengurangi sakit.

Kemudian sekelompok lelaki yang aku kenali sebagai tetangga baikku mulai mengangkat jenazahku, memindahkannya ke sebuah tandu yang biasa disebut keranda. Tidak pernah aku sangka dan duga bahwa kini giliranku untuk berbaring disitu, setelah sebelumnya, mungkin keranda yang sama pernah digunakan oleh tetanggaku. Entahlah. Ketika keranda diangkat dan digotong bersama, jiwaku berteriak dengan teriakan yang tidak akan pernah didengar oleh jin dan manusia. "Mau dibawa kemana aku?".

Dengan perlahan keranda yang telah ditutup oleh kurung batang dan kain hijau dengan bordir warna emas bertuliskan "Laa Ilaha Ilallah" bergerak perlahan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline