Lihat ke Halaman Asli

Beda Agama, kok Mau Menolong? Sebuah Renungan

Diperbarui: 17 Juni 2015   18:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bapak A, sebut saja begitu adalah seorang yang religius. Sudah haji dan pernah Umroh juga. Bersahabat dengan bapak B, seorang penginjil (missionaris? Saya tidak tahu persis istilahnya). Sejak puluhan tahun bersahabat erat dan saling mengingatkan dalam beribadah. Yang satu tidak pernah mengajak berpindah keyakinan terhadap yang lain. Begitu juga sebaliknya. Masing-masing tetap memegang teguh keyakinan yang dianut.

Suatu hari kedua sahabat baik ini berwisata ke negara tetangga dengan tujuan memeriksakan kesehatan. Hasil tes menunjukkan bahwa bapak B sehat dan tidak kurang suatu apapun. Tidak demikian dengan bapak A yang ternyata perlu tindakan lanjutan yang memerlukan pemeriksaan lebih lanjut.

Setelah hasil pemeriksaan, bapak A dianjurkan oleh dokter untuk mendapatkan tindakan bypass jantung sambil memperlihatkan hasil rekam jantung melalui rontgen. Isi hasil rontgen memperlihatkan adanya sumbatan pembuluh darah jantung di beberapa titik.

Keluarga bapak A segera berembuk melalui hubungan telefon jarak jauh karena tidak berada di lokasi yang sama. Setelah berembuk diputuskan untuk bapak A segera pulang ke Indonesia, toh dokter di Indonesia sudah mumpuni dan tentunya keluarga besar mudah untuk memberi bantuan moril karena berada di satu kota yang sama.

Dokter menyetujui dengan memberi peringatan agar tindakan bedah sebaiknya dilakukan dalam kurun waktu satu bulan, paling lama. Malam hari setelah vonis dokter bapak A merasa sesak nafas dan meminta istrinya untuk membawa ke UGD di rumah sakit tempat mereka memeriksakan kesehatan di awal kunjungan.

Hasilnya, bapak A harus segera dijadwalkan untuk operasi segera, tidak boleh ditunda. Operasi dijadwalkan untuk dilakukan hari Senin. Panik karena tidak membawa cukup uang, bapak A dan istri berusaha untuk menghubungi pihak bank di Indonesia agar bisa segera mencairkan dana untuk dipergunakan sebagai DP tindakan operasi. Hasilnya, pihak Bank dari Indonesia tidak bisa memastikan karena hari itu hari libur akhir pekan. Paling cepat Selasa, itu pun tidak ada kepastian.

Untung saja bapak B sebagai sahabat mau meminjamkan kartu kreditnya. DP dibayarkan, operasi segera dilakukan. Hasilnya alhamdulilah baik dan lancar. Bapak A bisa segera pulang untuk kemudian berkumpul kembali dengan kelurganya di tanah air.

Ini kisah nyata yang dialami oleh bapak saya sendiri. Persahabatannya dengan bapak B yang berbeda keyakinan membantu kelangsungan kehidupan dan kesehatan bapak saya.

Persahabatan sejati yang tidak membeda-bedakan keyakinan yang dianut. Yang segera tanpa pikir panjang memberikan segala daya upaya yang dimiliki agar sang sahabat tidak menderita.

Kisah biasa yang menurut saya menjadi sangat inspiratif, mengingat perbedaan agama di negara kita, Indonesia masih banyak menyisakan perselisihan dibanding keharmonisan (setidaknya menurut saya).Terimakasih saya ucapkan untuk bapak B atas kebaikan dan kemurahan hatinya. Hanya Allah yang membalasnya.

Semoga bisa menjadi renungan di bulan 10 Muharram ini.

Salam Kompasiana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline