Entah sudah berapa ribu pejabat yang menjual dan mengatasnamakan rakyat dalam langkah politiknya. Namun berapa biji yang menepatinya? Yang kita saksikan justru kesewenang-wenangan dan arogansi pejabat pada rakyat.
Jengkel, marah dan rasanya pengin ngumpat terutama kepada aparat dan pejabat ketika mengikuti dan membaca apa yang terjadi di Desa Wadas Kabupaten Purworejo. Apalagi ditambah penangkapan kawan-kawan aktivis dan warga Wadas. Jiancuk! Di mana sih bupatinya, di mana sih gubernurnya yang katanya Tuanku Ya Rakyat Gubernur Cuma Mandat?
Di tengah kemarahan saya itu seorang kawan mengingatkan, bahwa amarah akan membuat kita berpikir dan bertindak tidak lumrah. Emosi tidak akan menghadirkan solusi, karena dia akan mengotori pikiran dan hati.
Meski jengkel dengan kawan itu, diam-diam saya turuti juga ucapannya itu. Menjelang tengah malam hari selasa, 7 Februari, handphone akhirnya saya taruh. Saya keluar kamar kos, nyetater motor lalu melaju keliling kota nyari angin. Sebenarnya saya sudah berusaha untuk tidak memikirkan Wadas dengan mencoba mengingat sudah berapa lama saya tidak punya kekasih, mau lulus kuliah kapan, mau kerja apa dan lain sebagainya. Tapi tetep saja bayangan penangkapan, penyeretan kawan-kawan aktivis dan warga oleh polisi terus melintas. Akhirnya pukul 02.30 wib 8 Februari saya pulang kos, cuci muka, gosok gigi lalu tidur.
Dan betapa kagetnya saya ketika temen yang semalem memberi wejangan itu menunjukkan siaran livestreaming dari Polres Purworejo. Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah melakukan press conference di sana. "Saya ingin menyampaikan minta maaf kepada seluruh masyarakat, khususnya masyarakat Purworejo dan masyarakat Wadas. Karena kejadian kemarin mungkin ada yang merasa betul-betul tidak nyaman. Saya yang bertanggung jawab."
Tidak berhenti di situ, Ganjar juga datang langsung ke Desa Wadas menemui warga. Terlepas dari apakah itu warganya sudah disiapkan atau enggak, saya tidak begitu peduli, permohonan maaf dan kedatangan Ganjar ke Wadas menunjukkan keberaniannya sebagai seorang pemimpin. Itulah yang saya dan kawan-kawan aktivis harapkan. Bukan sekadar lips Servis atau janji-janji bakal menyelesaikan masalah. Meski tidak sepenuhnya merasa puas dan tuntas, setidaknya ada itikad baik untuk menyelesaikan persoalan dari seorang Ganjar.
Polemik di Wadas ini adalah jalan panjang perjuangan. Pendampingan kepentingan rakyat. Secara swasembada kami para aktivis terjun, menginap, diskusi, mendampingi anak-anak belajar, menemani ibu-ibu bekerja dan berjaga dan lain sebagainya.
Hari-hari berlalu setelah kedatangan Ganjar pada Rabu, 9 Februari 2022. Tapi polemik itu tetap jadi perbincangan panas di media maupun di kalangan masyarakat. Narasinya semakin liar. Tokoh-tokoh politik semakin banyak bermunculan. Ada yang memberi pencerahan namun sangat banyak yang cuma memanfaatkan keadaan. Wadas telah jadi ruang politik. Dan menjadikan ruang perjuangan ini semakin tidak asyik. Lembaran bola panas beterbangan di media sosial dan pemberitaan. Duka dan usaha warga dimanfaatkan.
Jujur. Saya bingung. Kawan yang mengingatkanku tadi kuajak berbincang bagaimana mestinya saya dan kawan-kawan bersikap. Belum habis perbincangan kami, di medsos sudah berseliweran kabar bahwa Ganjar kembali mengunjungi Desa Wadas. Bukan menemui warga yang pro, dia justru diskusi bersama warga yang kontra di masjid. Kurangajar! Batinku. Langkah Gubernur satu ini benar-benar membuat saya spechless. Gak ada takut-takutnya orang ini.
Semakin terdiam lagi ketika kawan saya berkomentar, "kalau orang berjalan dengan benar, apapun akan dia lakukan mesti nyawa dan kehormatan dipertaruhkan." Tepat! Begitu jawabku atas ungkapan kawanku.
Begitu saya lihat unggahan video kedatangan Ganjar di media sosial, dan membaca beritanya, jujur saya harus angkat topi pada Ganjar dan kepada saudara-saudaraku warga Wadas khususnya. Pada titik inilah saya benar-benar merasakan ketulusan dan kebesaran orang Indonesia. Tidak ada permusuhan atau amarah yang ditunjukkan. Meski saya paham, antara Ganjar dan warga masing-masing menyimpan rasa benarnya sendiri. Tapi ketika sama-sama masuk di ruang rembugan, mereka saling meluluhkan egonya demi kemufakatan bersama.
Di ruang rembugan itu mereka saling asah, saling asih dan saling asuh. Dan dari situ, Ganjar bersama warga memberi tamparan sangat keras pada penumpang-penumpang gelap yang menginginkan kekerasan, kerusuhan dan permusuhan. Tontonan yang jadi tuntunan seperti ini baru sekali terjadi di negeri ini. Keberanian seorang pemimpin bersatupadu dengan ketulusan dan legowonya hati yang dipimpin. Bagi saya, Ganjar ini membawa harapan besar untuk merajut kebhinekaan negara ini. Doa saya, semoga polemik di desa Wadas ini semakin mempertajam pikiran dan hati Ganjar dalam menjalankan kepemimpinan. Tapi ingat, di atas segalanya kepentingan rakyat tidak boleh menjadi nomor dua, harus yang pertama!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H