Sulit juga membayangkan surga itu begimana. Akhirnya yang terbayang rumah. Tapi kalau rumahku surga, aku jadi malas pulang. Sebab selama ini, otakku yang bentuknya gak simetris sudah dikotomi sama yang namanya surga itu enak. Tempatnya yang nikmat-nikmat. Minum SMJ (Susu Madu Jahe), gak pake telor. Ditambah tidak adanya menu kopi. Kalau cuma gak ada asongan rokok kusuda ta butu lagi~
Di surga tidurnya bareng bidadari. Bidadari tidur, kitanya tidur --ngapain.
Sudahlah, jangan pulang ke rumah kalau rumah itu surga. Rumah rumah saja, tidak pakai surga juga tak apa. Pertama, karena belum pernah merasakan hidup di surga. Aku percaya surga itu ada kok. Yakin. Tapi untuk gambaran surga itu seperti apa masih remang-remang. Jadi aku tidak bisa seketika nembak dedeq maba cantiq. Sebab qaqa bilang rumput tetangga lebih hijau. O, fatamorgana.
Ini lebih karena aku cenderung materialis mungkin. Mempercayai sepenuhnya apa yang sudah dirasakan, dilihat, diterawang, diraba, dijilat, dicelupin. Surga terlalu rumit, bahkan untuk sekadar dibayangkan. Jadi sebenarnya aku juga salah kalau harus membanding-bandingkan rumah dengan surga. Jelas, karena kalau mau bandingin secara fair kudu tahu pasti apa yang kita bandingin. Biar berimbang, objektif dalam metode. Aih.
Kedua, aku suka rumah. Rumah yang membosankan. Sebab bosan aku mau pergi, dan karena pergi aku kembali. Aku membayangkan jika rumah seperti surga yang di idam-idamkan itu. Dan ditafsirkan mau gini enak, mau gitu enak. Mengakibatkan kebetahan hqq. Tapi keindahannya semu. Nah ini aku kurang materialis. Lebih tepatnya magis. Untuk apa di tempat yang cuma bisa leha-leha? Ini masih di dunia loya,jadi yang di kepala itu surga rasa enak-enak dunia, apa? ya leha-leha!
Sepengelamanku sebagai anak yang dibesarkan oleh orang tua dalam sebuah rumah, yang kutahu rumah itu membosankan. Anak-anak lebih suka keluar rumah dan bermain atau mencari teman. Sampai akhirnya kita besar dan memutuskan merantau jauh dari rumah, entah itu sebentar atau lama nanti kita bakalan pulang ke rumah. Ironi daun kates, hanya karena rumah sudah kita punya jadi kurang didamba. Sekalinya di damba, yang di angan-angan rumah tampang istana.
Rumah akan tetap membosankan. Sebab rumah itu memberi yang terbaik, seperti orang tua, sedang kita selalu kanak-kanak. Pernah dengar pameo jadi orang baik itu membosankan? Kita boleh bilang kalau bosan itu adalah hal buruk. Tapi karena bosan rela dicap buruk, maka kita menjadi baik. Orang bilang baik dan buruk itu musti ada, seperti siang dan malam. Kalau mau menjadi baik, baiknya menyukai yang buruk. Menyukai yang buruk tidak untuk menjadi buruk. Bersyukurlah kalau masih ada yang mau jadi buruk, sebab ada kebaikan di dalamnya demi kita.
Banyak hal buruk terjadi di rumah. Meski hal buruk di luar rumahlah yang kemudian kita bawa ke rumah, hingga rumah menjadi membosankan. Rumah tempat pulang, pulang mesti membawa kenang yang tak selalu senang. Membosankan.
Terpujilah rumah yang membosankan. Dan penghuninya. Dan orang-orang yang mau menjadi rumah, terlebih membosankan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H