Lihat ke Halaman Asli

Membeli Mimpi Swasembada Gula

Diperbarui: 12 Juli 2016   17:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Akhir Juni 2016, Perum Bulog mempercepat impor Gula Kristal Putih (GKP) dari Thailand. Bulog mengimpor gula pasir sebesar 100.000 ton, dan ini masih di luar rencana impor raw sugar sebesar 381.000 ton. Impor memang menjadi langkah instan yang sepertinya paling efektif untuk memenuhi kebutuhan dan kenaikan harga gula.

Kebijakan impor memang bisa dengan sekejap menurunkan harga gula. Tetapi langkah instan tentu tidak menyelesaikan masalah sepenuhnya. Rumput liar yang tidak dicabut sampai akarnya pasti akan tumbuh lagi. Begitupun dengan permasalahan industri gula nasional. Sejauh ini, sepertinya belum ada kebijakan yang efektif meningkatkan produksi gula nasional kecuali kucuran dana Rp 16,9 triliun guna memperbaiki sistem irigasi. Lalu, bagaimana dengan target Indonesia swasembada gula pada tahun 2019?  

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, pemerintah menargetkan produksi gula tebu mencapai 3,8 juta ton per tahun pada tahun 2019. Tiga tahun lagi, tapi harum aroma swasembada gula belum juga tercium. Sebaliknya, impor gula masih terus menjadi kartu joker mengatasi kekurangan akan permintaan gula. Seperti yang dilansir media swasembada.net, Asosiasi Gula Indonesia (AGI) memprediksi produksi gula tahun 2016 hanya sebesar 2,3 juta ton. Imbasnya, tahun depan impor gula kristal putih (GKP) akan meningkat hingga 400.000 ton.

Seringkali kebijakan yang diambil pemerintah justru berkaitan langsung dengan harga output. Padahal, begitu banyak problema yang perlu diselesaikan dan tidak cukup hanya dengan impor. Impor tanpa perhitungan yang tepat malah menimbulkan penyakit baru di tengah keadaan industri gula nasional yang masih cacat. Pemerintah baru saja mengimpor gula, dan masih akan tetap mengimpor di tahun selanjutnya dengan angka yang lebih tinggi. Padahal, adanya gula rafinasi yang merembes ke pasar konsumsi rumah tangga sudah cukup menjadi derita buruk terutama bagi petani.

Selama ini kesejahteran petani tebu selalu dikesampingkan. Mengutip Agus Supriono di halaman editorial majalah Sugar Insighttahun 2013 yang mengatakan, “…dimulai dari masa penjajahan kolonial Belanda hingga kini, petani tebu selalu berada dalam lingkaran centrum-periphery. Lingkaran yang dilingkupi dengan kekuatan pabrik gula dengan dukungan pemerintah yang mengangkangi kesejahteraan petani.”

Dilema kesejahteraan petani gula tidak luput dari kebijakan pemerintah yang seringkali lebih memilih langkah praktis impor gula. Perlu disadari bahwa petani tebu, terutama di Jawa, tidak hanya berkebun untuk memenuhi kebutuhan hidup. Lebih dari itu, bertani tebu adalah sebuah budaya.  Budaya masyarakat Jawa, yang notabene penduduknya menyukai rasa manis, sehingga sejarah pun membuktikan ada banyak petani tebu di Jawa; ini juga salah satu faktor tumbuhnya pabrik-pabrik gula di Tanah Jawa. Dari latar belakang historis, bukan kebohongan bahwa industri gula nasional mempunyai potensi yang tidak kecil. .

Sekarang, bagaimana Indonesia membeli mimpi swasembada gula? Sebelum melangkah jauh, ada pertanyaan sederhana: kenapa harus gula? Ada banyak varietas tanaman di Indonesia, yang punya label negeri agraris, tapi kenapa kita harus swasembada gula? Teringat krisis yang dialami Jepang setelah tragedi Bom Hiroshima dan Nagasaki. Hilang kendali atas dunia, Jepang kesulitan mengurus negaranya sendiri yang dilanda krisis di segala aspek. Jepang mengambil langkah dengan mengumpulkan para akademisi lokal dalam satu forum untuk menentukan kebijakan apa yang harus diambil negara.

Pertemuan itu menghasilkan satu keputusan untuk menguasai pasar tekstil dunia. Bukan pembangunan infrastruktur habis-habisan dengan dana dari hutang luar negeri yang akan menjadi tanggungan generasi selanjutnya. Setahun berlalu, Jepang menjadi produsen tekstil nomor satu di dunia, untuk kemudian dengan modal materi terlebih mental penguasa yang sudah kembali, merambat menguasai berbagai bidang lainnya, termasuk yang paling dikenal sekarang, yaitu teknologi.

Tidak untuk mendewakan negara lain. Semua harus mengakui bahwa surganya dunia adalah Indonesia. Maka dari itu, alangkah berdosanya kita jika mengkhianati karunia Tuhan atas tanah yang subur ini. Keberhasilan Jepang bisa dijadikan pelajaran berharga, bahwa spesialisasi itu perlu. Ada fokus yang harus ditentukan, terutama oleh pemerintah, apalagi dengan dana APBN yang minim dan hutang negara yang besar, masih banyak yang harus dibenahi agar swasembada gula tak jadi sekadar mimpi.  

Mulai dari permasalahan dualitas kebijakan antara Kementerian Perindustrian yang memiliki kewenangan menentukan kebijakan raw sugardan Kemerintaan Pertanian untuk GKP, seringkali tak berjalan selaras. PG rafinasi yang tak kunjung jua mendirikan kebun-kebun baru. Ataupun legitimasi impor oleh pemerintah berbekalkan data-data para surveyorabal-abal.  Dan yang tak kalah miris, ditengah kebutuhan riset mendalam demi tercapainya kualiatas gula terbaik dan hasil panen yang melimpah, nasib peniliti Indonesia ternyata tak begitu beruntung di negerinya sendiri.

Ekspektasi boleh ditinggalkan, tidak demikian dengan harapan. Gula masih menjadi salah satu varietas yang bisa diharapkan dapat menyokong perekonomian nasional. Indonesia pernah mengalami era kejayaan industri gula pada tahun 1930-an. Saat itu, pabrik gula (PG) yang beroperasi mencapai 179 pabrik, produktivitasnya sekitar 14,8 persen, dan rendemennya mencapai 11-13,8 persen. Ekspor gula pernah mencapai sekitar 2,4 juta ton dengan produksi puncak  mencapai sekitar 3 juta ton (Sudanaet al., 2000).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline