Lihat ke Halaman Asli

Pemaknaan Kalimat Syahadat Sebagai Pijakan Pendidikan Moral [1]

Diperbarui: 10 Februari 2016   22:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

 

 

Ketika mendapat sepucuk surat undangan untuk berdiskusi dengan mahasiswa fakultas Tarbiyah UIN Bandung yang di fasilitasi oleh senat mahasiswa fakultas tarbiyah dan keguruan dengan tema “pendidikan akhlaq menurut barat dan timur”. Saya dihinggapi oleh kebingungan dengan tema tersebut karena apa yang di maksud dengan barat dan timur pada tema tersebut? Jika yang dimaksudkan oleh tema tersebut kata “barat” merefresentaskan pemikir yang berasal dari eropa dan amerika sedangkan “timur” merefresentasikan islam.

Padahal sesungguhnya di dunia ini tidak ada barat dan timur (qs.an-nur:35). Barat dan timur adalah pendikotomian orang eropa dalam mebagi wilayah. Jika sudah dibagi menjadi barat dan timur maka Semua ilmu pengetahuan dan kemajuan itu berasal dari timur.Jika kita berkaca pada sejarah maka timur adalah pusat peradaban,peradaban yang dibangun oleh orang timur pasti sebuah peradaban yang maju dan tidak menimbulkan kerusakan di atas bumi ini hal ini berbanding terbalik dengan peradaban yang dibangun oleh orang barat baru saja menguasai perdaban dunia 3 abad dunia ni sudah dilanda kerusakan.

Fritjof Capra seorang ilmuwan Barat  mengungkapkan kegelisahannya. Menurutnya saat ini,  ahli-ahli dalam berbagai bidang tidak lagi mampu menyelesaikan masalah-masalah mendesak yang muncul dalam bidang keahlian mereka. Para ekonom tidak mampu lagi memahami inflasi, Onkolog bingung tentang penyebab kanker; psikiater dikacaukan oleh schizofrenia,  dan polisi semakin tidak berdaya oleh semakin tingginya tingkat kriminalitas. [3]

Problematika sosial tersebut akhirnya  memunculkan pemberontakan-pemberontakan dalam masyarakat modern.  Barat kemudian berusaha mengembangkan pendidikan nilai atau karakter  yang berorientasi kepada nilai, etika dan moralitas yang diharapkan dapat  memunculkan manusia-manusia yang  humanis.

Peradaban Barat modern  menganggap nilai  sebagai produk rasionalitas  individu-individu, namun ketika nilai berada dalam konteks sosial dan budaya, maka nilai diartikan sebagai konsensus bersama sekelompok manusia. Sebagaimana pandangan Weber, salah seorang tokoh sosiologi Barat,  yang menyatakan bahwa nilai itu ada secara objektif dalam subjektivitas manusia dan murni menjadi milik dari pribadi-pribadi.

Dengan itu, konsepsi Barat tentang nilai, moral, dan etika bersifat relatif dan  sangat berbeda bahkan bertentangan antara satu dengan yang lainnya. Konsep tentang apa yang disebut baik dan buruk merupakan kancah pertarungan pemikiran yang tak pernah henti dari filosof-filosof Barat, sejak jaman Yunani sampai hari ini.   Dari pendidikan yang berorientasi kepada etika Kristen sebagaimana pemikiran Thomas Aquinas, kemudian berubah menjadi paham materiasme yang dikembangkan Decartes. Sejak saat itu, ilmu diaggap sebagai value free atau bebas nilai sehingga pendidikan di Barat dikembangkan “tanpa” nilai.  Moral, etika, agama, kemudian dijauhkan dari kurikulum dengan harapan manusia dapat lebih cerdas dan kreatif dalam menciptakan dan berinovasi di bidang sains dan teknologi.

Hal tersebut  merupakan konsenkuensi dari sekularisasi yang melanda Eropa setelah hilangnya kepercayaan masyarakat Barat terhadap kepempinan gereja. Sekularisasi menyebabkan  pengukuran baik-buruk, benar-salah,  semata-mata dilakukan melalui rasio dan pengalaman indera manusia. Masyarakat Barat pada akhirnya menganggap nilai-nilai agama merupakan fenomena subjektif yang dialami oleh masing-masing individu dan tidak bersifat universal.   Konsepsi nilai dalam peradaban Barat  terus berevolusi sesuai dengan tuntutan jaman akibat ketiadaan nilai absolut yang bersumber dari wahyu yang mengatur kehidupan masyarakat dan menjadi rujukan moralitas. Konsep nilai berkembang sesuai dengan konsepsi masyarakat Barat terhadap hakikat manusia, agama dan ilmu serta kehidupan itu sendiri. Perkembangan konsep nilai ini  menunjukkan betapa Barat tidak pernah akan berhenti  merumuskan nilai-nilai  yang dianggap baik bagi kehidupan masyarakatnya. Sejarah memperlihatkan perubahan  radikal konsep nilai di Barat, dimulai dari penerimaan pada etika moral gereja, sampai akhirnya berujung kepada penghapusan unsur-unsur metafisika dalam etika moralnya. Dahulu gereja mengharamkan tindakan homoseksual karena tidak sesuai dengan nilai etika agama tersebut, namun  saat ini dunia menyaksikan  seorang homoseksual telah diangkat  menjadi Uskup di Gereja Angllikan, New Hamshire pada tahun 2003 lalu.

Hal tersebut tentunya berbeda dengan pendidikan karakter dalam Islam yang menekankan pada  konsep adab. Islam berbeda dengan Barat, mempunyai teladan manusia yang mempunyai karakter sempurna, yaitu Rasulullah saw.   Konsep adab dalam Islam  terkait  dengan  keyakinan bahwa dalam melakukan tindakan, manusia mempunyai rujukan yang utama yaitu wahy u Allah  swt dan sunnah Nabi-Nya. Konsep pendidikan karakter yang bercorak sekuler-liberal tidak mungkin dapat mencetak manusia-manusia beradab.

Menurut Prof al-Attas, prinsip etika yang sejati dan universal hanya dapat dibangun oleh jiwa manusia yang bersifat spiritual. Yaitu ketika jiwa mendapatkan ilmu yang benar dari Tuhannya.  Sehingga merupakan sesuatu yang memprihatinkan apabila umat Islam masih percaya bahwa  etika  universal  dapat dibangun menggunakan framework  Barat modern yang menganggap  Tuhan dan jiwa  tidak memiliki objektivitas dan nilai ilmiah sebagai sumber ilmu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline