Lihat ke Halaman Asli

faizul

mahasiswa

Strategi Internasional Dalam Menghadapi Ancaman Nuklir Dari Korea Utara

Diperbarui: 1 September 2024   15:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

  • A. Latar Belakang Masalah

Korea Utara kembali menjadi sorotan dunia karena program nuklirnya. Untuk menghentikan program tersebut, Amerika Serikat bersama Jepang, Korea Selatan, dan Cina berusaha membujuk Korea Utara agar segera menghentikannya. Program nuklir ini dinilai bisa menyebabkan bencana besar seperti kelaparan, kesengsaraan, dan kematian. Selain berbahaya bagi lingkungan, kesehatan, dan kehidupan manusia, program nuklir ini juga berdampak negatif pada ekonomi negara-negara kawasan seperti Amerika Serikat, Jepang, Cina, Korea Selatan, serta beberapa negara lainnya. Dunia internasional juga khawatir akan terjadinya perlombaan senjata.

Kemerosotan ekonomi Korea Utara terjadi sejak tahun 1990-an, setelah putusnya hubungan kerjasama bilateral dengan USSR serta pengaruh dari Eropa Timur, ditambah peristiwa kelaparan akibat bencana banjir berturut-turut pada tahun 1996, 1997, dan 2000. Meskipun ekonominya lemah, Korea Utara memiliki 1,08 juta personel militer atau sekitar 44% dari total populasi, dan telah menghabiskan 20–25% dari GNP untuk program senjata nuklirnya. Pada awal tahun 1994, Korea Utara memproduksi plutonium untuk dua senjata nuklir, dan hingga kini diperkirakan telah memproduksi 5–7 senjata nuklir dengan berbagai tipe, termasuk rudal dengan hulu ledak tertinggi.

Pengembangan senjata nuklir Korea Utara memberikan dampak negatif pada kepentingan ekonomi negara-negara seperti Amerika Serikat, Jepang, Cina, dan Korea Selatan, karena banyak pelaku usaha yang membatalkan investasinya di kawasan Asia Timur dengan alasan keamanan. Dalam konteks politik internasional, kepemilikan senjata nuklir oleh suatu negara bisa memicu konflik karena senjata tersebut memiliki nilai tawar yang tinggi dan dapat dijadikan instrumen kekuasaan negara yang optimal saat ini. Sayangnya, nuklir juga bisa menimbulkan ketegangan baru di berbagai belahan dunia, termasuk Asia Timur.

Dalam bidang persenjataan, Korea Utara telah berhasil mengembangkan misil jarak menengah dan jauh seperti Taepodong-1 dengan daya jangkau 1.500–2.500 km dan hulu ledak 1.000–1.500 kg, yang digunakan untuk mengorbitkan satelit utama Korea Utara dan diluncurkan pada 31 Agustus 1998. Sementara itu, rudal Taepodong-II yang diluncurkan pada 6 Agustus 2003 memiliki daya jelajah 4.400–6.700 km dan diperkirakan mampu menjangkau Amerika Serikat (Alaska), India, Pakistan, serta seluruh wilayah Indonesia. Jika misil-misil ini dilengkapi nuklir sebagai hulu ledaknya, maka bisa menjadi senjata pemusnah massal.

Pada tahun 2004, Korea Utara melakukan uji coba nuklir ketiganya setelah sebelumnya melakukan uji coba pada tahun 1993 dan 1998. Di wilayah Hamgyong, Korea Utara kembali menguji Taepodong-II yang memiliki daya ledak sekitar 15 kiloton TNT, mendekati daya ledak bom Hiroshima tahun 1945. Karena klaim keberhasilan uji coba tersebut, Korea Utara mendapat tekanan dari dunia internasional untuk meninggalkan program nuklirnya. Uji coba nuklir tersebut dinilai dapat mengancam ketentraman dan stabilitas keamanan internasional. Oleh karena itu, beberapa negara seperti Amerika Serikat dan sekutunya di Asia Timur meminta Dewan Keamanan PBB untuk segera menjatuhkan sanksi bagi Korea Utara, dan Pyongyang didesak untuk bergabung dalam kesepakatan Non-Proliferasi Nuklir (NPT) sebagai upaya penghentian pengembangan nuklir.

  • B. Diplomasi dan Negosiasi

Isu keamanan di berbagai belahan dunia yang belum memiliki solusi damai terus menjadi perhatian serius komunitas internasional. Saat ini, Korea Utara, sebagai negara pemilik senjata nuklir, menggunakan kemampuan tersebut untuk mengancam negara-negara lain. Pengembangan senjata nuklir yang dimulai sejak Perang Dunia II telah melalui berbagai metode, mulai dari pesawat pengebom hingga peluru kendali balistik. Senjata nuklir memiliki potensi sebagai alat pemusnah massal, yang dapat mengancam stabilitas keamanan global. Meskipun Korea Utara menandatangani Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (NPT) pada tahun 1985, negara ini kemudian menarik diri dari perjanjian dan keanggotaan IAEA pada tahun 1994, meningkatkan ketegangan internasional. Pengembangan nuklir di Korea Utara, yang merupakan warisan dari Perang Dingin dan Perang Korea, mendapatkan kecaman global karena dianggap mengancam keamanan dan stabilitas internasional.

Konflik yang berkepanjangan antara Amerika Serikat dan Korea Utara menyoroti pentingnya isu ini untuk stabilitas regional. Asia Timur, sebagai salah satu kawasan paling rentan terhadap ancaman nuklir, membutuhkan kebijakan hati-hati dari Amerika Serikat. Presiden Trump, dengan kemungkinan penerapan kebijakan militer, menambah kompleksitas situasi. Jepang, Korea Selatan, dan Cina menolak opsi militer karena khawatir akan memicu perang di kawasan. Dalam konteks ini, analisis perilaku Korea Utara menggunakan pendekatan konstruktivisme, yang menekankan bagaimana norma dan aturan membentuk perilaku negara, menunjukkan bagaimana Korea Utara memandang rivalitas dan identitas aktor di lingkungannya.

  • C. Sanksi Ekonomi

Ekonomi Korea Utara mengalami penurunan tajam pada tahun 2018, dengan Produk Domestik Bruto (PDB) turun 4,1 persen, penurunan terbesar dalam 21 tahun terakhir. Hal ini disebabkan oleh kombinasi sanksi internasional yang ketat dan kekeringan parah yang melanda negara tersebut. Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Amerika Serikat telah memberlakukan sanksi yang melarang ekspor utama Korea Utara seperti batubara, besi, dan tekstil, serta membatasi impor minyak. Sanksi ini bertujuan untuk memotong pendanaan program senjata nuklir dan rudal balistik Pyongyang.

Efek sanksi ini sangat signifikan, mengakibatkan penurunan nilai perdagangan internasional Korea Utara sebesar 48,4 persen pada tahun 2018. Produksi di sektor-sektor utama seperti pertambangan, terutama batubara dan mineral, mengalami penurunan sebesar 17,8 persen, sementara sektor agrikultur, kehutanan, dan perikanan turun 1,8 persen akibat kekeringan. Lebih dari 10 juta warga Korea Utara dilaporkan menghadapi ancaman kelaparan.

Meskipun menghadapi sanksi yang semakin ketat, Korea Utara tetap melanjutkan program senjata nuklirnya sebagai bentuk pertahanan diri. Dewan Keamanan PBB telah mengeluarkan beberapa resolusi yang memperketat sanksi terhadap negara tersebut, termasuk larangan perdagangan dan pembatasan finansial. Namun, Kim Jong Un menegaskan bahwa senjata nuklir adalah bagian dari strategi pertahanan Korea Utara yang tidak bisa dinegosiasikan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline