Belakangan ini situs jejaring social Facebook diguncang isu yang menarik perhatian para pecinta sastra dan budaya. Mungkin karena kualitas buku PUISI dan BULU KUDUK, juga karena prestasi Acep mendapat Penghargaan sastera sunda atas karyanya, Paguneman (Kumpulan saja basa Sunda). Puisi dan Bulu Kuduk sendiri merupakan buku berisi esai-esai sastra dan budayayang telah beredar luas, dan dibaca banyak pecinta sastra Indonesia, bahkan sekarang sering diminati guru bahasa.
Istilah Puisi dan Bulu kuduk menarik perhatian banyak orang tentu bukan semata karena unik, tetapi di dalamnya karena berisi gagasan brilian yang diciptakannya. Menurut Asep Shalahudin, seorang doktor sastra Sunda menyebutkan, bahwa karya Acep tersebut tidak sembarangan dibuat, bahkan peneliti sastra asing pun tidak mampu menyajikan khazanah sastra nusantara sedetail dan mendalam sebagaimana digagas Acep Zamzam Noor.
Puisi dan Bulu Kuduk yang menjadi judul buku ini diambil dari salahsatu esai yang terdapat dari buku ini. Sedangkan isinya merupakan esai-esai yang meliputi kajian sastra, kehidupan seniman, persoalan politik, agama, budaya dan kajian bahasa.
Beberapa esai tersebut di antaranya “Puisi, Posisi Saini, Sepuluh Sajak Goenawan, Cerpen-cerpen Puitik Danarto, Puisi Anggur Omar Khayam, Pesantren, Santri, Puisi, Bahasa, Identitas, Akar Tradisi, BRB , In Memoriam Irzadi Mirwan, Puisi dan Bulu Kuduk, Puisi dan Ketulusan Hati, Dari Pertemuan Kecil ke Pasar Bebas, Perlukah Sastrawan Indonesia Berserikat? Salju dan Nyanyian Bunga Mei, Para Penyair Salaf, Puisi yang Mengingatkan, Kidung Purnama, Kreativitas dan Pemicunya, Melati di Paha Yunis, Mengolah Realitas, Puisi dan Batu Akik, Sekitar Proses Kreatif Saya.”
Dari proses pembentukan menjadi buku, Acep Zamzam Noor selama sepuluh tahun terakhir menyeleksi naskah-naskahnya. Kemudian, atas dorongan tim kreatif dari Penerbit Karya Acep ini berhasil dikemas menjadi sebuah buku yang sekarang digandrungi peminat sastra. (Hlm 16).
Membaca masing-masing bagian buku ini terasa mengasyikkan. Esai-esai ilmiah dengan gaya tulis popular yang memikat disertai kemampuan intelektualitas sang penyair, telah memberikan oase pengetahuan tersendiri. Di tengah minimnya apresiasi kebudayaan, sastra dan sikap kritis para seniman pada persoalan sosial, ekonomi dan politik, Kang Acep menggulirkan cara pandang yang unik.
Itu terlihat dari cara pandangnya yang kritis, mandiri disertai kemampuannya mengangkat persoalan-persoalan secara detail. Sekalipun ia bukan wartawan, tetapi di dalam esai tersebut membuktikan kemampuannya untuk “investigasi” persoalan sehingga esai-esainya tajam dan berbobot. Pembaca bisa merasakan bagaimana persoalan kecil dari kehidupan seniman misalnya, bisa menjadi inspirasi untuk menegakkan etos kerja yang baik untuk kelangsungan sebuah roda kehidupan berbangsa.
Gaya penulisan yang halus dengan pemilihan diksi yang baik membuat kenikmatan tersendiri pada setiap bagian. Cara pandang sang penulis dalam melihat persoalan kecil yang dihubungkan dengan persoalan makro, seperti proses kreatif menulis dengan situasi politik nasional misalnya, bisa memberikan masukan baru kepada kita bahwa hal yang kecil-kecil itu tidak bisa diremehkan dari persoalan nasional.
Itulah mengapa sekalipun Kang Acep menulis soal politik, tetapi yang kita dapatkan bukan pengetahuan politik, melainkan pelajaran hidup yang bermakna. Makna kehidupan kecil dari eksistensi seniman misalnya, begitu mengharukan. Kepekaan terhadap persoalan kemiskinan misalnya, juga bisa mendorong pembaca untuk merasakan sensasi kemanusiaan.
Dunia kepenyairan memang lekat dengan alam bawah sadar. Inspirasi, insting, naluri dan mood yang dikelola secara rasional dalam tulisan cerdas ini mengantarkan kita pada gerbang pembelajaran yang baik untuk mengenal Indonesia. Analisa kebudayaan berbasis cultural studies yang kritis nampak sangat kuat dalam pemikiran sang penulis.
Sekalipun Acep lahir dan tumbuh berkembang dari rahim pesantren, dari Cipasung Tasikmalaya, tetapi pemikirannya sangat universal dan canggih dalam memotret fenomena kesusastraan dunia, seperti sastra Tionghoa, Rusia, interaksi antara seniman dunia dan lain sebagainya. Pada esai Salju dan Nyanyian Bunga Mei, Acep menyuguhkan ulasan karya sastra Tionghoa yang begitu memikat.
Di luar kenikmatan membaca esai-esai ini, kita juga bisa merasakan manfaat dalam pembelajaran bahasa, sastra dan budaya yang sangat baru. Berbeda dengan penulis lain yang sering literal dalam melihat persoalan tersebut, kang Acep secara konteksual mampu berbicara dengan corak pemikirannya sendiri. Ia mandiri dalam berpikir dan punya keberanian untuk melakukan rasionalisasi cara pandang terhap setiap persoalan.
Ulasan Prof Jakob Sumardjo pada kata pengantar buku ini juga menegaskan bahwa persoalan puisi bukanlah sekedar seni, melainkan masuk ke wilayah filsafat yang sangat penting bagi kehidupan manusia karena melibatkanbatin, jiwa, ruh dan tata nilai kemanusiaan yang mendalam.
Sekalipun di dalam buku ini memuat banyak ilmu pengetahuan, tetapi harus dikatakan ini bukanlah buku ilmiah konvensional. Artinya tidak bisa ditinjau secara hitam putih untuk dicari kelemahan.
Hikmah dan inspirasi untuk berpikir serta merenung secara mendalam lebih penting; karena memang di situlah batin sang penulis bermain. Kang Acep mengajak kita untuk merenungkan beragam persoalan nasional dengan mata batin kepenyairannya. Selamat membaca.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H