Lihat ke Halaman Asli

Tafsir Simbolis Islam-Jawa

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ada banyak cara menafsir kebudayaan. Seorang Antropolog Amerika, Clifford Geertz pernah menggulirkan teori tafsir melalui simbol kebudayaan. Tafsir yang dikenal dengan istilah ‘thick description” ini mampu mendalami sesuatu kebudayaan secara efektif.

Tafsir simbolik ini akan saya gunakan untuk melihat bagaimana tiga tokoh di Tanah Jawa yang nantinya akan saya tafsirkan sebagai simbol dari tiga kelompok masyarakat.  Tujuan penafsiran ini penting untuk melihat bagaimana corak pemikiran politik dan budaya (termasuk mentalitas) masyarakat, terutama para priyayi yang berada di jajaran pemerintahan Pemerintahan Daerah.

Ada empat sosok yang sangat menarik kita tafsirkan di sini, yakni Sunan Kudus, Sunan Kalijaga, Syekh Siti Jenar dan Sunan Drajat yang pernah mewarnai perjalanan sejarah tanah Jawa di peralihan Abad 15-16 Masehi.

Kudus Vs Kalijaga

Ja Tik Su, demikian nama asli dari Ja’far Sadiq. Sosok yang popular dengan sebutan Sunan Kudus ini memainkan peranan politik yang cukup kuat di istana Demak. Ia menjabat kadi, semacam menteri kehakiman bagi kerajaan.

Jabatan formal ini sebenarnya terbatas pada urusan keagamaan, tetapi Kudus sering terlibat jauh campur tangan politik. Pandangan hidupnya sangat bergantung pada politik-kekuasaan. Ia merasa bahwa perubahan di masyarakat harus diwujudkan melalui struktur kekuasaan. Nalar politisnya yang kuat membuat dirinya harus terus mengejar kekuasaan.

Bagi yang tidak sepakat dengan kebijakannya akan dianggap sebagai pembangkang dan dengan kekuasaannya pula ia akan menaklukkan. Ketika Raja Pengging (di Kawasan Boyolali sekarang) tak mau tunduk dengan kekuasaan Demak, Kudus murka  meminta Raden Fatah agar menyetujui agresi. Pengging dibunuh karena tak sepakat dengan Demak. Karena Demak Islam, pengging yang tak sepakat otomatis kafir karena itu halal darahnya.

Begitu pula dengan Jenar, sekalipun pada massa itu popularitas Jenar sebagai ulama sudah meluas tetap saja Jenar dianggap tidak sejalan dengan Islam. Alasan yang dipakai karena menyebarkan ajaran sesat, tetapi catatan sejarah membuktikan Jenar tidak sepakat dengan Demak yang semakin mulai merajalela menaklukkan berbagai kawasan. Jauh sebelum dua kasus ini, Kudus sudah pernah memimpin penyerangan sisa-sisa kerajaan Hindu Majapahit antara tahun 1526-1527.

Berbeda dengan Kudus, Gan Si Cang atau yang dikenal Sunan Kalijaga adalah seorang agamawan barisan walisongo yang anti formalitas. Kalijaga yang juga menjabat sebagai penasehat Raden Fatah sangat toleran terhadap kebudayaan Jawa, sekalipun di dalam budaya Jawa kala itu masih kuat aroma Hindhu-Buddha. Kalijaga berpikir bahwa Islam adalah sesuatu yang substansial, bukan sesuatu yang harus diformalkan.

Pernah Kudus dan Kalijaga berdebat tentang penegakan syariat Islam di tata negara Kerajaan Demak. Kudus mengajukan argumen bahwa untuk menjadi Muslim sejati harus menjadi Islam Kaffah. Artinya semua aturan yang dilaksanakan oleh orang Islam harus serba Islam. Makan, minum, pakaian, politik, seni sampai urusan ranjang harus serba Islam. Dengan kata lain kalau makan harus seperti Nabi, pakaian, kendaraan juga harus seperti Nabi, termasuk urusan politik; harus dengan undang-undang Islam.

Kalijaga yang subtansialis menjawab, “tugas kita bukan mengarabkan orang jawa, tapi mengislamkannya,” ujarnya mendebat. Munculnya istilah Arab dan Islam ini mempertegas pandangan Kalijaga bahwa apa yang dipahami oleh Kudus adalah sesuatu yang simbolis, artinya lebih mengutamakan kaleng daripada isi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline