Lihat ke Halaman Asli

[Untukmu Ibu] Damai untuk Ibu

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13877386041731367752

[caption id="attachment_310576" align="aligncenter" width="607" caption="Ilustrasi/ Admin (Kompas.com)"][/caption] Selamat pagi. Ini hari pertamaku menjadi manajer pemasaran di sebuah kantor mobil asal jerman. Tidak terlalu susah, banyak enaknya. Aku sekarang punya ruangan sendiri, punya meja yang lebar, punya pintu sendiri, punya kursi yang bisa muter dan naik turun. Semuanya milikku, punya kantor tapi dipinjamkan ke aku. Aku senang. Semoga ibu juga. "Pak Dinar, jam satu siang ada pertemuan dengan klien" "Iya, nanti ingatkan lagi. Saya suka inget yang lain" Dia bingung, diangkat kedua alisnya. "Iya pak?" "Iya" Lalu pintu ditutup. Itu Diana, assistenku. Dia baru lulus 2 tahun lalu, lulusan unversitas negri ternama di Indonesia, satu almamater, kuning. Dia tidak ribet seperti assisten lainnya. Dia baik, cantik dan sudah punya pacar. Kau jangan sedih, banyak diana lain di luar sana. Itu kata diana ketika pernah kutanya, gimana kalo banyak cowok yang suka sama kamu? Kembali ke meja, kembali ke...laptop, kembali ke kertas tumpuk-tumpukan. Kembali kerja. Sibuk? tidak juga. Resiko pekerjaan sayang, kata istriku yang bawel. *** "Halo, assalamualaikum mas?" "Waalaikumsalam, tut..tut...tut....." "Halo mas?" "Iya, mau pesen apa?" "Pesen suami saya yang suka maen, ga pernah serius, dibakar pake mentega sedikit gosong" "Maaf sudah tutup" "Rasain hahaha" Aku diam. "Mas? nanti malam jadi kan?" "Maaf sudah tutup" "Terus?" "Jadi" begitulah istriku, suka ngambek, suka "terus?", "lalu?", "kemudian?" tapi aku sayang, dia juga. "Jadi apa?" "Jadi nanti malam" "Mas, hari ini Damai ulang tahun. Pak presiden jadi kan dateng?" "Jadi. Tapi, nanti katanya mau pake kostum robot biar diusir sama Damai" Damai, anakku. Tidak suka robot, lebih suka mobil. Katanya robot kalahan, kalah kalo baterainya ga ada. Biarlah dia dengan dunianya. Dunia anak bebas, mereka presidennya dan tidak mungkin didemo oleh mainannya. "Ha..ha..ha." "Jangan telat. Kalo telat ga boleh masuk" "Kalo aku telat ga ada yang bawa kue" "Kalo gitu kuenya boleh masuk, kamunya liat dari jendela" Inilah obrolan kami, mengarah ke tidak penting. Tapi menyenangkan. Jangan dibaca lagi, nanti ketagihan. "Iya nanti aku pulang jam 5. Aku sibuk mainan sama kertas tumpuk-tumpakan ini" "Resiko pekerjaan sayang, semangat ya..." "Assalamualaikum" Tut..tut...tut. Waalaikumsalam. Itu tadi istriku, sudah punya seorang anak jagoan. Dia tidak cantik, sebernarnya sangat cantik tapi jika kubilang cantik nanti kau ingin. Dia sedikit aneh, suka ketawa, katanya itu karena aku. Emangnya aku begitu? tidak kan? aku orangnya serius. "Pak, klien sudah menunggu di ruang rapat" "Iya" Itu diana, sudah jangan tanya-tanya lagi. Jangan minta kirimin salam lagi. Apa kataku, dia sudah punya pacar. Pacarnya jago karate. Pertemuan membahas kerjasama dengan sebuah produksi film, menjadi sponsor. Cara jitu untuk sebuah langkah pemasaran. Satu jam pertemuan. Semoga terjadi kesepakatan menguntungkan. Masalah uang siapa yang tidak mau berperan. Iyakan? Jabat tangan mengakhiri pertemuan. Ngobrol sedikit sambil mengantarkan keluar ruangan. Beres. Aku bisa kembali ke ruangan tercanggih dengan kursi yang bisa berputar dan naik turun. *** Aku pulang. Baru saja. Damai sedang belajar, membaca kata per kata, dia masih 4 tahun. Istriku, Rima Dyah alias bunda, memberi kode untuk segera menyembunyikan kue yang kubawa. Tangannya seperti mengusir, tapi tentu tidak itu maksudnya. Pelan-pelan aku masuk dapur, menyiapkan yang belum siap. Tapi aku bingung harus diapakan. Diberi lilin, atau diberi air macur biar meriah. Tapi aku tak punya air macur, jadi lilin saja ya, empat buah. Bu Dinar masuk ingin membantuku yang berantakan. "Gimana?" "Yagitu" "Ini kuenya? kok gede?" "Yagini. Nanti kita undang kucing-kucing komplek buat habisin" "Hahaha, kucing ga suka kue. Sukanya ama kamu" "Kamu sejenis kucing dong" "Hahaha" akhirnya adegan coret-coret pake kue tidak jadi, takut kuenya Damai rusak. Kue ulang tahun yang biasa saja sudah jadi, tidak ada air mancur. Lilin kecil empat buah, niatnya agar pas dengan umur Damai. Tapi, terlihat biasa saja. Sudahlah dia juga tidak protes, dia malah langsung meniup dengan ludah-ludahnya juga. "Yeeee..selamat ulang tahun Damai!" "Makasih bunda!" Cium pipi kanan. Cium pipi kiri. Cium jidat. Cium semuanya. aku hanya melihat, mau. "Ayah ga dikasih makasih?" si bunda tanya ke Damai. "Ayah mau dikasih makasih juga?" "Ayah mau kuenya aja" lalu dia memelukku. Anggap saja itu tanda terimakasih. Ayah sayang Damai, dia juga. Saatnya buka kado. Aku memberi kado. Si bunda juga. Tapi kado si bunda lebih besar, karena dia yang megang ATM. Kado dari bunda mobil remote control, warnanya merah, keren. Sekarang Damai menyerang kado yang sudah dibungkus rapih oleh mbak-mbaknya tadi, dariku. Tapi Damai langsung sebal melihatku, robot? itu transformers, robot juga mobil. Sengaja keberikan biar awet. Tapi dia lihat petunjuk di belakang kardus dan langsung di ubah jadi mobil juga. Ahsudahlah. Kami kumpul santai di depan tivi, mengobrol, menghabiskan kue ulangtahun Damai karena kucing-kucing komplek tidak bisa datang karena ada rapat RT dan PKK. "Bunda mau Damai jadi anak yang baik, anak yang nurut sama orang tua, anak yang sayang sama orang tua, sayang sama ayah bunda, jadi anak sholeh" si bunda memeluk Damai hangat lalu diakhiri ciuman sayang dipipi dan kening. Semacam make a wish. "Ayah mau apa?" Damai bertanya kepadaku, aku kaget, aku sedang ingat ibu. disaat-saat seperti ini, hari ini amat istimewa untukku, untuk keluargaku, aku ingin ibu ada disini, bersama kami, tapi pasti tidak bisa. Ibu sudah disana bersama ayah sedang membangun rumah yang hangat untuk kami. Ibu..Dinar sayang ibu. Dinar kangen ibu. Haru. "Ayah mau apa?" "Mau kamu sayang sama bunda, dan temenan sama robot" Hari ini selesai. Berakhir dengan rasa kangenku ke ibu. Ibu yang pernah berkorban nyawa untuk anak sepertiku, ibu yang mau sabar menyuapiku yang asyik berlari, ibu yang selalu mengelus punggungku ketika aku amarah, ibu yang selalu mengerti aku. Tapi aku tidak bisa membalasnya, sebari hanya menyuapi sesuap ketika kami masih bersama. Dinar kangen ibu. Semoga Allah memberikan tempat terbaik untuk ibu. Selamat istirahat, ibu. *** Aku ingin kau tau betapa hebatnya ibuku. Betapa sosok pahlawan dan superhero paling keren di bumi ada di diri ibuku. Kau pernah lihat superman menyelamatkan anaknya? batman? ironman? aku tidak pernah lihat. Tapi ibuku begitu. Dia selalu menjadi pelindungku, bahkan aku laki-laki. Memelukku hangat ketika dingin dan gelap. Mengajari aku membaca dan berhitung disaat ngomong masih sulit, dia melindungiku dari kebodohan. Itulah ibuku, superhero paling hebat di bumi. Aku akan ceritakan betapa hebatnya ibuku. Sila baca jika mau. "Dinar, bangun sudah pagi, sholat shubuh, mandi antar ibu ke pasar, terus sekolah, ayo bangun!" "Hee..eeeh" aku males bangun. Maafkan aku ibu, aku mau dibangunin ibu lagi. "Ayo cepet" ibu menarik sarung, selimutku, membuka pintu lebar, angin dingin masuk bebas. "Iya" aku duduk, masih tetep merem. Lalu berjalan, masih merem. Lalu nabrak pintu, sudah melek. Seger. Sambil selus-elus jidat, sakit. Kami sholat shubuh berjamaah, berlima, aku, ibu, dan 3 adikku. Lalu berdoa buat ayah, lalu beres-beres rumah. Ibu manusia paling cantik di rumah ini, perempuan sendiri. Aku isi bak mandi, adik-adikku bagi kerja, ada yang nyapu halaman, nyapu ruang tamu, nyapu selain halaman dan ruang tamu. Ibu memasak di dapur. Begitulah kami dulu ketika masih ada ibu. Ibu..Dinar kangen ibu. Ibu bisa lihat Dinar kan? ibu terimakasih. *** Kita sedang mundur beberapa waktu ketika aku baru lulus sekolah dan harus pergi meninggalkan rumah. Aku harus pergi ke ibukota, kuliah. Berat memang awalnya, tapi adik-adikku kulihat sudah mampu untuk menjaga ibu. Mas Dinar pergi, jaga ibu. Kalo ada apa-apa telpon mas Dinar,ya.. Jakarta, tak pernah mudah seperti yang sudah dibayangkan. Tempat ini sudah lebih maju dari kotaku, sedikit. Aku dari Surabaya. Langkah pertamaku disini semoga akan baik. Empat tahun kuliah, aku akan kembali ke rumah dengan ijazah S1 dan sebuah pekerjaan. Doakan aku ibu, aku tau disana kau sedang bersujud meminta kepada tuhan untuk kemudahan ku. Semoga tidak kusia-siakan. Aku kos dekat kampus, tidak perlu ongkos untuk kendaraan jadinya. Fotokopi dekat, makan juga dekat. Hari-hari di sini membuatku sering lupa dengan rumah, pulang hanya jika ada panggilan dan kiriman telat. Aku banyak berubah, lebih kenal dunia, lebih hedon kata anak-anak jaman sekarang. Ibu? nantilah kalo dirumah, waktu itu. ibu, maafkan Dinar. Dinar salah ketika waktu itu. Maafkan Dinar, ibu. Seperti hukum alam itu ada, kuliahku hancur. Hampir semester akhir, tapi IPK ku malah merosot karena suka bolos, tidak bisa ikut ujian. Lebih suka kumpul temen-temen daripada belajar. Lebih suka bangun siang, dari pada malam istirahat tenang. Lebih suka ke mall nongkrong, daripada sibuk di perpustakaan. Ini adalah masa-masa kelamku, sangat kelam. Ibu maafkan Dinar. Aku mengaku salah. Ibu tolong doakan Damai agar tidak sepertiku, doakan agar dia menjadi anak yang sholeh dan sayang ayah bunda. Aku sakit. Masuk rumah sakit. Mahg akut. Sering makan telat, kata dokter. Ibu, aku butuh ibu. Disaat seperti ini. Ibu maafkan aku, Dinar malu dengan keadaan waktu ini. Berhari-hari hanya makan bubur, disuntik infus. Sakit.. ibu, tidak enak. "Dinar! astagfirullah nak! kamu gimana sekarang?" "Sudah mau baikan, ada ibu soalnya" aku senang ibu datang. "Maafkan ibu, nak. Ibu baru bisa datang kesini. Ibu baru bisa pinjam uang ke tetangga. Maafkan ibu, Dinar" Ibu menangis di sampingku. Maafkan aku ibu, ini salahku. Ingin rasanya kuhapus tangis itu, kuganti senyum bangga. Tapi saat itu aku tidak bisa. Aku bahkan menutup mukaku dalam. Maafkan aku ibu. *** Airmata mengalir diwajahku, mengalir seperti sudah sewajarnya, untungnya istriku sudah tidur. Jadi dia tidak perlu melihatku menangis. Aku sedang ingin sendiri mengingat kenanganku bersama ibu. Mengingat begitu berat perjuangan ibu untuk anak yang tidak tau diri sepertiku. Ya Allah berikan tempat terbaik untuknya, sampaikan salam sayangku padanya. Dinar sayang ibu. *** Kau tanya kenapa aku begitu sayang kepada ibuku? sebelumnya coba kau tanyakan itu kepada ibuku. Pasti dia akan mengatakan, ibu sayang Dinar karena Dinar anak baik dan ibu sayang Dinar karena Dinar juga sayang ibu. Ibuku adalah ibu terbaik, ibu super untuk anaknya, istri yang istimewa untuk ayahku. Ibu setiap pagi ada dipasar, tapi ibu bukan penjual. Ibu bekerja sebagai pejaga toko kue ringan di pasar, toko pertama ketika kau baru masuk pasar, sebelah kanan. Disana ada ibuku sedang "memasarkan" jualan orang lain. Mungkin aku sekarang, menjadi manajer pemasaran, adalah berkat bakat yang ibu berikan padaku. Ibu orangnya supel. Suka sekali tersenyum kepada orang yang bahkan belum dikenalnya, tapi akan jadi kenalannya. Siapa saja jika bernego dengan ibu, maka dia akan merasa senang. Kata orang-orang ibu orangnya baik, suka ngobrol, suka bercanda, mudah akrab. Ibu memang begitu, malah lebih baik lagi. Ibuku, Rumanih, adalah inspirasiku. Selalu dan akan terus begitu. "Bu, man. Nanti dikardusin ya pesenan dari Bu Ratna. Nanti siang mau diambil" "Iya, bu. Dikardusin pake kardus kulkas ya bu" "Kebesaran, bu man" "Berarti pake kardus sepatu" "Kekecilan bu man, mana muat. Ada-ada aja. Pake kardus biasa aja bu man. Hahaha" "Beres, bu" Begitulah ibu, selalu sibuk, selalu semangat, selalu ngaco tidak sepertiku. Aku kan selalu serius. Hahaha. Uang yang diterima memang tidak begitu banyak. Tapi ibuku memang benar-benar manajer yang handal, dengan uang itu ibu bisa menyekolahkan 3 orang anaknya sampai lulus sma. Adikku yang terakhir aku yang membiayayai. Karena ibu sudah tidak bekerja lagi. Tapi itu sudah sangat luar biasa. Itulah ibuku, dalam kata yang singkat, tapi cukup mewakili. Intinya, ibuku itu cantik, baik, semangat, manajer yang hebat, paling hebat, dan sangat sayang dengan anak-anaknya. Kalimat yang kuingat sampai sekarang, kata-kata ibu ketika ayah baru pergi meninggalkan kami, "Ibu sudah tidak punya apa-apa lagi. Ibu miskin. Ibu tidak bisa memberikan mainan seperti teman-temanmu. Tapi ibu akan berusaha tidak akan membuat kalian bodoh, tidak akan membuat kalian kelaparan dan sakit. Ibu akan berusaha. Ibu janji" Oh tuhan, semakin ku ingat ibu semakin sakit dada ini, sesak karena kesalahan dulu. Belum sempat ibu merasakan jerih payahnya. Anak-anak yang pintar, anak-anak yang selalu berkecukupan, anak-anak yang sehat. Ya Allah jagalah ibu kami tersayang disana seperti beliau menjaga kami ketika masih kecil. *** Kita sedang berada di waktu ketika aku lulus kuliah, S1 manajemen. Aku, ketiga adikku dan juga ibu berfoto bahagia. Foto yang sekarang sedang dipajang indah di ruang keluarga rumahku, dibingkai dengan bingkai paling indah. Ibu yang memilih. "Ibu bangga sama Dinar. Dinar sudah jadi contoh yang baik untuk adik-adikmu. Dinar sudah jadi anak yang baik untuk ibu dan bapak. Bapak disana juga pasti bangga sama Dinar" "Ibu, terimakasih untuk semua perjuangannya. Terimakasih untuk susah dan payahnya. Terimakasih untuk doa dan sayangnya" aku bisikan ke ibu, kami berpelukan. Ibu menangis bahagia di bahuku, basah kubiarkan. Kucium tangan ibu. Seperti memang takdir yang sudah ditulis oleh pencipta. Ibu sakit ketika aku baru saja promosi menjadi kepala bagian di kantor sekarang aku bekerja. Aku datang bersama istriku, kami baru menikah beberapa bulan lalu, belum ada Damai, dia masih proses. Kata ibu, ini sakit karena faktor umur. Kata dokter, ibu sakit jantung dan sudah lama. Sejak kapan? kenapa aku tidak tahu? kulihat adik-adikku sudah kumpul di ruangan ibu dirawat. Memang takdir harus terjadi. Malam itu setelah sholat isya, aku dan adikku diminta berkumpul bersama ibu. Oh tuhan, jangan sekarang kumohon! beri kami waktu lagi. "Dinar" suara ibu lemah memanggilku. "Iya" aku mendekat ke tempat ibu. Langsung mengalir airmata. "Dinar" "Iya" "Kamu kenapa menangis?" Aku tidak menjawab pertanyaan ibu. Kupandang dalam mata ibu yang setengah terpejam. "Dinar" "Iya" "Dinar sayang ibu?" "Dinar sayang ibu. Sangat sayang" ku genggam erat tangan yang sudah hampir hilang hangatnya, tapi kucoba akan terus hangat. "Dinar jangan menangis. Jadilah kuat untuk ibu" Segera kuhapus, dan kuganti dengan senyum ceria penuh sedih. "Jadilah kuat untuk ibu. Jaga adik-adikmu. Jaga istrimu, rima. Jaga keluarga rima juga" Ibu menarik nafas, susah. "Ibu minta kamu jadi kakak dan suami yang kuat. Selalu jadi contoh yang baik. Ibu melihat ayah sedang membangun rumah yang indah untuk kita." Senyum yang tadi sudah hilang pilu, mulut masih dipaksa tersenyum tapi mata sudah berkaca. "Maafkan ibu, karena tidak bisa menjadi seperti ibu yang lainnya. Tidak bisa sekuat superman untuk mengerjakan pekerjaannya sendiri. Selalu merepotkan kamu dan adik-adikmu. Ibu minta maaf" titik airmata muncul di pojok mata ibu. Semakin erat ku genggam tangan ibu. Ku cium, aku ingin ibu bertahan bersamaku. Aku ingin ibu melihat Damai, anakku nanti. "Dinar, kamu masih ingat apa kata-kata ibu dulu ketika ayahmu meninggal?" Aku mengangguk. Iya, masih. "Ibu minta kamu melanjutkannya, jaga mereka yang kamu sayangi" Ibu diam. Lama. Aku panik. Dokter!! aku tidak sengaja berteriak karena panik. Dokter datang, ibu bangun lagi. Tapi sepertinya sudah tidak ada waktu. LaailahaillAllah..LaailahaillAllah...Aku bisikan di telinga kanan ibu. Beliau mengikutinya mudah. Dan ibu pergi menemui ayah. Tidak ada perpisahan yang mudah. Terimakasih ibu karena sudah menjadikan aku anakmu. Maaf karena anakmu ini tidak bisa terus membuatmu senang. Aku sayang ibu. Kami sayang ibu. Meskipun kami tau sayang kami hanya setitik air di lautan sayangmu. Terimakasih ibu. *** "Mas, kamu kenapa?" "Ha? apa?" kujauhkan mukaku dari si bunda. "Mas kamu kenapa?" "Ga" kuubah cepat mukaku, jangan sampai di tau. Bisa ketawa pagi-pagi ini. "Mas kamu baik-baik kan?" istriku mengintip dari bahuku, penasaran sedang apa dan kenapa aku. Kubalikkan badanku, "Berat, bun. Haha" "Terus" "Aku baik-baik saja sayang. Kamu kenapa bangun?" "Aku dengar tadi kamu manggil ibu?" Aku diam. Menatap kosong langit-langit. "Sabtu ini ulang tahun ibu. Kita jenguk yuk. Sama Damai juga" "Iya, ayo" "Istirahat sayang, besok kamu harus aktivitas lagi" si bunda memeluk hangat. Lampu dimatikan. *** Sabtu, 22 desember, tahun ini. Aku bersama keluarga kecilku, bunda dan Damai, bersama ketiga adikku. Alhamdulillah yang kembar sudah lulus kuliah, tinggal yang paling kecil. Dan tinggal menunggu calon untuk menikah. kami ber-enam duduk melingkar di pusara ibu dan bapak. pusara mereka sengaja diletakkan berdekatan. Kami taburkan bunga, segenggam demi segenggam, kami siram dengan air. Berdoa untuk bapak dan ibu. Damai juga ikut berdoa. "YaAllah jagalah bapak dan ibu kami, seperti mereka menjaga kami dulu" aku mengawali, yang lain mengamini. "YaAllah rawatlah bapak dan ibu kami, seperti mereka merawat kami dulu dari kecil hingga mereka tiada." "YaAllah berikanlah makan dan minuman terbaik kepada ibu dan bapak kami, seperti yang mereka dulu berikan kepada kami" "YaAllah terimakasih karena sudah memberikan kami bapak dan ibu yang luar biasa. Sudah memberikan kesempatan kami lahir dengan agama dan orang tua yang baik. Terimakasih yaAllah" "Ibu. selamat ulangtahun" "Terimakasih. ibu memang luarbiasa. beda dengan ibu yang lain, selalu terhebat. terimakasih ibu karena sudah melahirkan 4 laki-laki luarbiasa di dunia ini. Terimakasih ibu. Sekarang aku juga sudah punya jagoan, namanya Damai." Aku diam sejenak melihat bunda, ketiga adikku, dan Damai tersenyum kepadaku. Ada yang mau menambahkan? semua menggeleng satu-satu. Tidak. "Ibu maafkan kami" aku menangis entah kenapa begitu cepat, padahal belum masuk klimaks. "Ibu maafkan kami karena selalu membuatmu susah, membuatmu harus bekerja disaat ibu-ibu lain istirahat dirumah, maafkan kami ibu." Si bunda mengelus-elus punggungku, menenangkan. kuatur napas dan kata-kataku. "Ibu, semoga disana kau bahagia melihat kami sekarang. Kami disini yang melingkar di pusaramu. Kami sehat. Kami bahagia. Kami bangga dengan kehidupan kami sekarang. Bahkan kami ingin ibu juga. Kami sayang ibu, karena ibu juga sayang kami." "Damai juga sayang nenek" Damai? kulihat jagoanku satu ini, aku tersenyum bahagia, sedih, juga bangga. harusnya kau jadi aku biar tau rasanya. "semoga kau mendengarnya ibu" Kuangkat wajahku, kulihat bunda, kulihat adik-adikku. Ada yang mau menambahkan? "Maafkan kami ibu, bapak. Kami hanya bisa memberi doa untukmu. Jika ada yang lain bisa kami lakukan akan kami lakukan. Kami juga akan membangun sebuah panti asuhan seperti cita-cita ibu dulu. Semoga ibu senang. Terimakasih ibu karena sudah bersedia menjadi ibu kami, anak-anak yang nakal. Kami sayang ibu" adikku yang pertama, Ilham, menambahkan kalimat mengakhiri indah acara keluarga ini. "Damai mau" "Damai mau apa?" si bunda yang bertanya. "Damai mau ngasih ini buat nenek, Damai yang buat" Selembar gambar dengan warna krayon, biasa saja untuk nilai seninya tapi luas untuk nilai lainnya. Ada gambar rumah, laki-laki dewasa 4 orang, satu laki-lakinya dan perempuan bergandengan dengan seorang nenek dan anak kecil. Kuusap rambutnya, biar berantakan. Kami letakkan gambar Damai bersama setangkai bunga mawar. Kuharap angin ini membawa seluruh perasaan kami kepada ibu. Ibu.. Kami sangat, sangat, sangat, sangat, sangat, sangat sayang ibu. Bahkan lebih dari sangat. Benar katamu dulu ibu, hidup memang tak pernah mudah. Tapi dengan hidup bersama orang-orang yang kita sayangi, itu akan membuat hidup kita bahagia. Sesulit apapun, kita akan tetap bersama. Selamat istirahat. Terimakasih, ibu kami yang terhebat. Dari anakmu, Dinar.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline