Lihat ke Halaman Asli

Malu Aku Jadi Orang Minang

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Membaca reportase majalah National Geographic, Traveler, vol 2, no 5, tahun 2010, tentang songket Minang, hati saya bercampur aduk antara kagum dan sedih. Kagum karena ternyata tradisi songket Minang sudah berusia ratusan tahun. Kagum karena songket Minang banyak menyimpan makna filosofis yang sangat dalam yang saya tidak ketahui. Sedih karena butuh seorang arsitek asal Swiss, Bernhard Bart, untuk ikut serta melakukan revitalisasi salah satu tradisi Nusantara ini.

Bernhard Bart adalah seorang pensiunan arsitek asal Swiss yang menaruh minat khusus pada kain-kain tenunan. Kecintaannya pada kain tenunan mebuatnya sudah berjalan sampai Iran, India, Thailand, Laos, Kamboja, China untuk mengunjungi museum-museum yang diduganya menyimpan koleksi tenunan. Sampai akhirnya beliau tiba di Nusantara, menjelajahi beberapa daerah seperti Kalimantan, Maluku Utara, sampai akhirnya tiba di Minangkabau, Sumatera Barat.

Di Ranah Minang ini, Bernhard terpaku dan terpukau pada songket Minang. Kemudian dia mulai berburu songket-songket Minang kuno untuk dipelajari. Perburuan bukan cuma di ranah Minang saja, bahkan dia menemukan salah satu songket Minang kuno (dari Padang Magek) yang sudah punah di Fowler Muesum, Los Angeles, AS. Luar biasa!

Dia berkata bahwa songket Minangkabau merupakan songket paling halus di dunia yang dibuat dengan tenunan tangan. "Itulah yang membuat saya merasa harus mendalami songket lama Minangkabau", ujar lelaki yang sekarang berusia 63 tahun ini. Keunikan lain dari songket kuno Minang, menurut Bernhard, adalah setiap motif memiliki arti filosofis yang sangat dalam. Motif bada mudiak misalnya memperlihatkan makna sekelompok orang kecil yang berjuang agar tidak terbawa arus, ini dimaknai dari motif ikan-ikan kecil yang berjuang untuk mencapai ke hulu. (Saya sendiri tidak tahu motif ini seperti apa, duh malunya)

Kemudian bersama dengan Alda Wimar dan Nina Rianti dan Erika Dubler, mereka mendirikan studio songket Minang ErikaRianti di daerah Batu Taba, Ampek Angkek, Kabupaten Agam, sekitar 50Km dari Bukittinggi. (Saya akan pastikan mengunjungi studio ini pada perjalanan berikutnya ke Bukittinggi, red). Di studio ini, mereka melakukan revitalisasi motif-motif songket yang sudah atau hampir punah. Motif-motif kuno tersebut difoto dan direproduksi melalui proses komputerisasi. Kemudian hasil repro ini dijadikan dasar untuk proses pembuatan songket baru.

Sampai saat ini sudah ada sekitar 25 jenis songket yang sudah berhasil direproduksi. Songket-songket ini berasal dari daerah Koto Gadang, Padang Magek, Pandai Sikek, Ampek Angkek, Canduang dan Payakumbuh.

Sumber:
1. National Geographic Traveler, vol 2, no 5, 2010
2. http://www.songketminang.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline