Lihat ke Halaman Asli

Faiz Amiruddin

Mahasiswa Stiba Ar-Raayah

Konsep Keadilan Dalam Membangun Rumah Tangga yang Bahagia

Diperbarui: 20 Oktober 2024   10:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber : Unsplash 

Pada dasarnya dalam perkawinan, baik suami maupun  isteri, mempunyai hak yang setara  untuk menentukan arah jalannya rumahtangga yang ingin mereka bina. Relasi dan interaksi yang baik antara suami dan istri adalah sebuah cara untuk mewujudkan kebahagiaan dan ketenangan dalam rumah tangga (sakinah) yang diharapkan. Disamping itu, perlu adanya keseimbangan pemenuhan hak dan kewajiban antara suami istri yang dengganya diharapkan dapat mewujudkan rumah tangga yang diberkahi.

Salahsatu isu yang sering menjadi pembahasan suami dan isteri, khususnya mereka yang termasuk kedalam generasi Z ( mereka yang lahir antara tahun 1997 hingga awal 2010-an) adalah konsep  keadilan dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Tidak sedikit dari masyarakat, baik akademisi ataupun non akademisi, yang menilai bahwa kebahagiaan rumahtangga harus dibangun diatas kesetaraan  antar kedua pihak sebagai pengganti dari konsep keadilan. Padahal sejatinya itu hanya strategi pembiasan dari misi terselubung kaum feminis untuk mengubur konsep Adil yang sudah mapan dalam ajaran Islam, dan menggantinya dengan konsep kesetaraan gender (equality) yang sebenarnya menyimpan kecacatan. Nah maka Artikel ini perlu membahas tentang konsep keadilan sebagai salahsatu khazanah kekayaan Islam, yang tercermin dalam dua issue utama, Tanggung jawab antar pasangan dan bagaimana cara mengambil keputusan atas setiap persoalan.

Konsep Keadilan 

Keadilan berasal dari bahasa Arab 'adalah () yang memiliki berbagai arti. Dalam kamus Lisan al-'Arab kata ini diartikan "lurus", maksudnya lurus menuju kebenaran dan tidak menyimpang karena mengikuti hawa nafsu. Adapun secara istilah adil adalah memberi dengan bijaksana sesuai kebutuhan serta menempatkan tuntunan itu pada tempat yang semestinya. Berlaku adil bisa kepada diri sendiri dan orang lain, Jadi tidak mesti kepada dua orang. Pemberian itu boleh saja menyenangkan yang satu tapi tidak bagi yang lain.

Dalam Islam, prinsip keadilan erat kaitannya dengan ajaran tauhid yang kokoh. Tauhid adalah tindakan yang menegaskan bahwa Allah itu Esa, Pencipta yang mutlak, Penguasa dari segala yang ada, sementara yang lain adalah makhluk atau ciptaan-Nya. Sang Pencipta memiliki entitas (wujud) yang jelas berbeda dengan makhluk-Nya. Pembedaan ini membawa konsekuensi bahwa tidak ada yang setara dengan Allah, sementara semua manusia (laki-laki dan perempuan), kedudukannya setara sebagai makhluk-Nya.

Sebagai waujud keadilan, Islam memandang perempuan dan laki-laki itu adalah dua entitas (wujud) yang berpasangan seperti halnya makhluk lain yang juga berpasangan[1]. Pernyataan ini secara tidak langsung menyiratkan  makna bahwa keduanya memiliki persamaan sekaligus juga perbedaan. Mereka sama karena kedudukannya sebagai hamba Allah[2], mereka memiliki hak, tugas, dan tanggung jawab yang sama akan hal tersebut. Namun meskipun begitu Islam juga menekankan bahwa keduanya memiliki perbedaan fungsi, sesuai dengan fitrah atau kodrat yang dibawa oleh masing-masing. Fitrah atau kodrat manusia dalam pandangan Islam tidak sekedar fisik semata, melainkan psikis dan rohani juga. Oleh karena itu berpasangan  mengandung arti bahwa tiap individu saling membutuhkan satu dengan yang lain, tidak dapat berdiri sendiri dan tidak lengkap tanpa kehadiran yang lain.

Berbeda dengan Islam, kaum feminis memandang laki-laki dan perempuan sama dalam segala hal, kecuali biologisnya saja. Faktor biologis ini pun dibatasi hanya pada bentuk dan fungsi kelaminnya saja, yakni menstruasi dan hamil. Lepas dari itu, perempuan bebas dan tidak terikat oleh apapun. Batasan antara laki-laki dan perempuan menjadi tidak ada. Sifat, kecenderungan, tindakan, dan perilakunya, dipandang berasal dari konstruksi budaya masyarakat saja. Hal ini tentu akan berimplikasi atas munculnya gagasan kesetaraan gender (equality) antara laki-laki dan perempuan dalam memenuhi semua aspek kehidupan.

Keadilan Dalam Mengemban Tanggungjawab

            Aturan hukum Agama Islam berpegang atas prinsip bahwa Islam  dalam masalah relasi pria dan wanita memandang adanya pihak yang memegang otoritas. Dalam rumahtangga, otoritas  dipegang oleh suami sebagai pihak yang memimpin, mengambil keputusan penting, dan memberikan arah bagi keluarga agar terciptanya rumahtangga yang harmonis dan seimbang. Namun sebagai Pemimpin yang baik, tentu ia tidak hanya membuat keputusan sendiri, tetapi juga melibatkan istrinya dalam proses pengambilan keputusan dan mempertimbangkan kepentingan seluruh anggota keluarga. Maka disini sang suami sangat diwajibkan agar pandai mendengarkan saran dari anggota keluarga selain tetap mendorong anggota keluarga untuk tumbuh dan berkembang bersama.

              Tanggungjawab yang setara pun dimiliki oleh isteri. Dalam konteks mengambil keputusan, istri dapat membantu suami dengan menjaga keseimbangan emosional, serta meningkatkan kualitas hubungan dan kehidupan keluarga secara keseluruhan. Emosi stabil yang dirasakan oleh suami saat mengambil keputusan, akan memudahkan pengambilan keputusan terbaik bagi keberlangsungan keluarga.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline