Lihat ke Halaman Asli

Tentang Uang panas

Diperbarui: 14 Desember 2015   18:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Di suatu obrolan menjelang senja, seorang kawan bercerita tentang banyaknya sumber-sumber pendapatan yang mengalir ke kantongnya yang dia sendiri ragukan kehalalannya, bahkan cenderung dia mengannggapnya sebagai uang panas dan lbh mendekati haram, karna diperoleh dgn cara yang tidak benar, misalnya pungli dari kantor, ataupun gratifikasi atau uang sogokan dari orang yang berurusan di kantornya

Diapun berseloroh tentang tipsnya mengkualifikasi sumber pendapatannya dgn 3 kualifikasi, yaitu dari yang halalan tayyibah, syubhat dan haram, dua kualifikasi terakhir dia istilahkan dgn uang panas, bahkan saat menyimpan uang2 tersebut, diletakkan di tempat berbeda sesuai kualifikasinya, dan dia sangat ketat menjaga agar jangan sampai duit panas yang dia ragukan kehalalannya terpakai untuk menafkahi keluarganya, dengan keyakinan bahwa duit tersebut dapat mendatangkan mudarat yang banyak jika digunakan untuk menafkahi keluarga atau akan tumbuh menjadi darah daging dalam tubuh anak-istrinya yang kelak menjauhkannya dari syurga, jadilah duit-duit panas tersebut dibelanjakannya pada hal-hal yang kurang bermanfaat tuk dia dan keluarganya, semisal digunakan tuk bersenang-senang atau berfoya-foya yang kesannya menghambur-hamburkan duit, termasuk peruntukannya biasa dia sumbangkan di mesjid atau sekedar membeli barang-barang yang manfaatnya tuk dia sendiri dan tidak tuk anak istrinya, semisal membeli hp, accesoris mobil atau bahkan batu-batu yang begitu banyak dia koleksi.

Saya kemudian coba memahami dari persfektif kawan tadi betapa dia begitu mencintai keluarganya dengan memastikan tdk sesenpun harta syubhat dan haram digunakan tuk menafkahi keluarganya, bahkan tuk membeli perabot rumah atau barang yang dimanfaatkan tuk keluarganya dia haramkan dengan menggunakan uang panas tadi, namun di sisi lain rasa-rasanya dia tidak begitu mencintai dirinya sendiri dengan membiarkan uang panas mengalir dalam kantongnya, kemudian membelanjakannya untuk dirinya walaupun dia tetap membatasi untuk tidak membelankanya tuk makanan dan minuman yang dimakannya, dengan anggapan akan menjadi daging haram dalam tubuhnya.

Bukankah pada saatnya nanti, menyangkut harta, kita akan mempertanggungjawabkan 2 hal, yaitu darimana harta itu kita peroleh, dan untuk apa kita belanjakan, Sebagaimana disebutkan dalam hadits : " Tidak akan bergeser tapak kaki seorang hamba pada hari Kiamat, sampai ia ditanya tentang empat perkara. (Yaitu): tentang umurnya untuk apa ia habiskan, tentang jasadnya untuk apa ia gunakan, tentang hartanya darimana ia mendapatkannya dan kemanakah ia membelanjakannya, dan tentang ilmunya, apakah yang telah ia amalkan”. [HR At Tirmidzi dan Ad Darimi].

Dan sampai hari ini saya meyakini bahwa sejatinya harta yang masuk ke kantong kita, walaupun dapat kita kualifikasi sumber-sumbernya dan dapat kita pisah-pisahkan secara fisik duitnya mana yang halal, syubhat maupun haram, namun secara subtansi, sejatinya harta yang kita peroleh tidak dapat kita pisah-pisahkan, maka walaupun uang panas itu secara fisik tdk pernah kita gunakan tuk menafkahi keluarga, namun subtasinya harta yang kita gunakan tuk menafkahi keluarga telah tercampur dengan harta-harta syubhat dan haram.

Maka sederhanakanlah rumus kita menghindarkan keluarga kita dari uang haram, dengan menolak semua Uang Panas mengalir ke kantong kita.. wallahu a’lam bisshawab




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline