Lihat ke Halaman Asli

Popularitas Itu Bukan Kepemimpinan

Diperbarui: 20 Mei 2023   11:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Salah satu tanda tahun politik didepan mata yakni munculnya banyak wajah baru dan bahkan lama yang terpampang di sepanjang jalan. Selaiknya tanda ramadhan akan datang, iklan sirup selalu intens tampil dilayar pertelevisian. Keduanya adalah kebiasaan yang telah kita pahami dari tahun ke tahun.

Membaca dari arus kehidupan hari ini yang serba digital. Orang-orang berbondong-bondong memainkan gawai sosial medianya dan merias sebaik mungkin apa yang akan ditampilkan dihadapan massa.

Kekuatan sosial digital memang benar adanya, bahkan jika menilik lebih dalam. Hanya ada dua industri yang menyebut pelanggan mereka sebagai “pengguna”. Yang pertama pengguna narkoba dan yang kedua pengguna piranti lunak (media sosial). Erdward Tufle dalam video The Social Dilemma.

Bila demikian, bolehlah menyebut bahwa terdapat zat dan pengaruh yang ada pada pengguna sosial media yang mengubah aktivitas otak dan menyebabkan perubahan persepsi dan suasana hati. Sebab itu, dewasa ini kita sukar menakar mana yang nyata dan maya.

Jika penulis membaca hari ini, selain kekuatan media digital. Mindset kita atau pola pikir kita masih bertumpu pada viralitas. Kita tidak merasa eksis bila kita tidak tampil dan viral. Jadi hampir semua orang fokus dalam kubangan tersebut, bahkan sampai pada membangun identitas dirinya pun dari situ.

Barometer kita dalam menilai diri kita sebagai orang yang berarti atau tidak, sebatas pada postingan kita viral ataupun tidak. Oleh sebab itu, kita terdorong dalam setiap postingan yang kita lakukan, sikap penasaran akan postingan kita sudah viral ataupun belum selalu kita tengok setiap saat.

Terlebih dalam tahun politik, beredarnya deretan orang-orang yang populer tetapi bukan dan bahkan belum pernah terjun kedalam penggodokan partai politik maju mencalonkan diri sebagai pemimpin.

Padahal kepemimpinan itu bukan popularitas, bukan pula kemegahan dan kemewahan. Kepemimpinan itu merupakan tanggungjawab dari apa yang telah diamanahkan selama masa jabatan. Sedang popularitas ialah imbal hasil dari apa yang telah ditugaskan dan mampu dipertanggungjawabkan.

Gejalanya hampir sama, partai politik yang seharusnya mendorong para kader militannya untuk laga tanding dalam kontestasi pemilihan, hilang kemudi. Instan mendorong sederet orang-orang populer hari ini untuk mewakili keyakinan, ideologi dan gagasan partai politik.

Padahal dalam demokrasi, partai politik harus difungsikan untuk melakukan nominasi berdasarkan ideologi partai, karir politik partai, dan keyakinan partai bahwa orang ini mampu atau tidak dalam membawa ideologi dan gagasan partai.

“assiyasatu mabniyatun ala aqidatiha” politik itu selaras dengan keyakinannya. Sehingga dalam demokrasi, dialektika yang dibawa yakni perebutan keyakinan yang mana yang lebih baik dalam membangun kesejahteraan bersama.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline