Lihat ke Halaman Asli

Meneropong Masa Lalu

Diperbarui: 21 Juli 2021   11:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumentasi pribadi

Seorang teman memberikan kepada saya beberapa dokumen dengan aksara Jawa untuk kemudian saya bantu baca dan menerjemahkan tulisan tersebut ke dalam bahasa Indonesia. Dokumen tersebut lebih tua daripada kemerdekaan Republik Indonesia. Dokumen tersebut terdiri atas satu lembar diberi  kode dan berupa pindaian berformat .pdf. Secara tulisan, dokumen tersebut terdiri atas dua macam tulisan, yaitu tulisan tercetak dan tulisan tangan. Tulisan tercetak yang saya maksud adalah huruf yang ditik. Tulisan tersebut diperbanyak untuk diisi dengan tulisan tangan. Kalau pada zaman sekarang mungkin kita lebih familier dengan kuitansi atau nota dengan format baku dan kita hanya butuh membubuhkan tulisan untuk menerangkan suatu hal. Berikut adalah beberapa hal yang saya pelajari dari tulisan tersebut.

  • Memiliki tulisan Jawa dan latin

Dokumen tersebut memiliki tulisan Jawa yang mengisi keseluruhan isi. Sementara itu, tulisan latin diletakkan di pojok untuk menerangkan dalam bahasa Belanda. Namun, sekalipun menggunakan aksara Jawa, angka yang digunakan bukanlah angka Jawa. Angka Jawa memiliki ciri khas, sebagaimana angka Romawi, yaitu menggunakan huruf, tetapi angka Jawa haruslah diapit dengan pada pangkat (...). Pada dokumen ini, tanggal, tahun, luas, dan nominal menggunakan angka Arab, yang saya maksud adalah 1, 2, 3, dan seterusnya.

Tulisan Jawa yang digunakan pada format isian mudah dibaca dan jelas. Namun, pada tulisan tangan, pudar termakan zaman. Gaya penulisan masyarakat pada zaman lampau ternyata memiliki gaya penyederhanaan tulisan aksara Jawa. Pada kasus huruf "sa" (), kaki belakang dihilangkan dan menyisakan guratan dengan lingkaran di bawahnya. Jika disuku () (membuat huruf berbunyi u), suku diletakkan pada akhir huruf, tanpa memberi kaki sebagaimana huruf sa pada lazimnya. Berbeda pula dengan kasus huruf "ma" () yang malah memiripkan huruf dengan huruf "m" pada aksara latin dengan menghilangkan kaki belakangnya. Beberapa huruf, seperti "nya" (), "ba"(), "tha"(), dan "nga" ()memiliki kemungkinan digabung sehingga tidak memiliki jarak, sebagaimana huruf Jawa yang lazim dikenal.

  • Mengajarkan administrasi daerah pada masa lampau

Dokumen ini memiliki angka tahun 1925 sampai dengan angka 1931. Pada tahun tersebut, daerah dibagi atas kabupaten, distrik, onderdistrik, dan desa. Untuk pengesahan dokumen tersebut diperlukan wewenang dari wedana atau patih. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada masa tersebut memiliki administrasi yang sangat berbeda dengan saat ini, tetapi akan menjadi cikal bakal administrasi pada masa sekarang.

  • Menggunakan satuan klasik

Masa sekarang, orang lebih lazim mengenal satuan luas dengan meter persegi atau hektare. Namun, pada masa lampau, lebih dikenal dengan satuan, seperti bahu. Satuan tersebut digunakan dalam dokumen dan diiringi dengan satuan lain, yaitu ru. Bahu secara nasional memiliki luas sebesar 500 ubin/ru. Sementara itu, ru memiliki luas sebesar 14,0625 meter persegi dan satuan tersebutlah yang akan dihitung kemudian berapa nominal yang harus dibayarkan oleh pemiliknya. Satuan yang digunakan dalam nominal adalah gulden dengan lambang "f", tetapi pada penjelasan nominal digunakan kata "sen", sebagai contoh, seseorang harus membayar f0,96 maka pada penjelasannya adalah "sangang puluh enem" sen.

  • Memiliki ketidakajekan kaidah penulisan

Aksara murda digunakan dalam tata prungu atau untuk bentuk penghormatan. Pada dokumen tersebut digunakan aksara murda untuk nama wedana, yang sesuai dengan fungsi aksara murda. Namun, pada nama daerah terdapat variasi. Ada beberapa dokumen yang tidak menggunakan aksara murda, tetapi dokumen lain tidak menggunakannya. Hal tersebut sangatlah wajar dan menimbulkan spekulasi bahwa penulis yang mengisi format isian tersebut adalah orang yang berbeda-beda.

  • Menggunakan ragam bahasa ngoko

Dokumen yang saya baca menggunakan ragam bahasa ngoko. Hal tersebut ditunjukkan pada kata-kata yang digunakan, semisal pada dokumen lebih menggunakan kata "aranne" daripada "asmanipun" atau "namanipun". Kata penunjuk, seperti "iki" lebih digunakan karena dokumen menggunakan ragam tersebut daripada kata "punika".

Membaca dokumen lama memiliki tingkat keasyikan tersendiri. Walau saya banyak gagal memahami tulisan tangan yang terdapat dalam dokumen tersebut, sekalipun sudah berkali-kali mengernyitkan dahi, dan berpuluh-puluh kali merekonstruksi tulisan tangan tersebut, tetap kurang mampu. Tulisan tersebut banyak yang pudar dan gaya penulisan yang tidak selazim penulisan aksara Jawa pada masa kini. Namun, di balik itu semua, setelah membaca dokumen tersebut saya kagum akan kegunaan bahasa Jawa dan aksara Jawa pada masa lalu sebelum bahasa Indonesia dan huruf latin digunakan secara bertahap dan meluas ke seluruh Indonesia.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline