Lihat ke Halaman Asli

Faizal Amin Haderi

TERVERIFIKASI

A learner Is Always Be Learner

Kecelakaan kapal diselat sunda, Siapa yang salah?

Diperbarui: 24 Juni 2015   23:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13487430351021373662

Tragedi kecelakaan Transportasi kembali terjadi, kali ini adalah tubrukan kapal laut di Selat Sunda antara kapal Feri Ro-Ro (roll-on roll-off) KM. Bahuga Jaya dengan kapal tanker MT. Norgas Cathinka. Tabrakan tersebut terjadi antara pukul 04:00 – 05:00 pagi. Akibat kecelakaan itu KM. Bahuga Jaya tenggelam satu jam setelahnya. Tercatat 8 orang meninggal dunia.

Melihat dari kronologis kecelakaan yang beredar bahwa Kapal Tanker menabrak Lambung Kanan KM. Bahuga Jaya. Saya jadi teringat kembali dengan pelajaran Peraturan Pencegahan Tubrukan di Laut (P2TL) tahun 1972

Mengacu pada Collision Regulasion yang didalam bahasa Indonesia disebut Peraturan pencegahan Tubrukan di laut (P2TL) Kapal Feri Roro ada pada posisi yang salah, mengapa? Sebab dalam aturan menyilang (aturan 15) disebutkan bahwa “ kapal yang melihat kapal lain di lambung kanannya, wajib merubah haluan ke kanan, sehingga haluannya memotong buritan (belakang) kapal itu. (lihat gambar)

#Analisa Kecelakaan Berdasarkan Posisi Tabrakan#

Dalam kejadian ini, terlihat bahwa kapal Feri Ro-Ro tetap bertahan dengan haluannya dan kapal Tanker MT. Norgas merasa dalam posisi yang benar juga “bertahan” dengan posisinya. Sekalipun disebutkan ada tindakan merubah haluan, tapi jarak yang sudah terlalu dekat maka kecelakaan tak bisa dihindari.

Secara posisi kapal, kapal Tanker MT. Norgas Catinkha sudah benar, tapi harus dilihat juga didalam aturan P2TL disebutkan, bahwa dalam rangka menghindari Tubrukan, setiap kapal  wajib mengusahakan agar tidak terjadi tubrukan, misalnya membunyikan suling kapal, berkomunikasi melalui Radio VHF, ataupun cahaya yang tujuannya agar dapat menarik perhatian kapal lain, yang mungkin saja seluruh awak kapal dalam kondisi keracunan gas misalnya sehingga kapal berjalan seperti kapal hantu, atau dikarenakan kelalaian ABK, tidur saat jaga. Sudahkah kedua kapal melakukan itu?

Sebagai Seorang Pelaut Kapal Niaga, saya sangat Faham dengan kejadian ini. Jam 04-06 pagi adalah waktu yang rawan terjadinya kecelakaan. Karena masih dalam keadaan setengah sadar. Terkadang setelah naik ke Anjungan pun masih dalam kondisi mengantuk.

Kondisi setengah sadar ini sangat berbahaya dalam mengambil keputusan, karena keputusannya juga akan setengah-setengah. Ada beberapa pilihan saat itu, yaitu berkomunikasi dengan Radio VHF untuk menyetujui di lambung mana kedua kapal akan bertemu, atau langsung merubah haluan yang ekstrim untuk menghindari kecelakaan, yang tujuannya meminimalisir kerusakan, dengan catatan harus dalam jarak yang cukup untuk menghindar.

Terlepas dari pengalaman itu, tentu ini akan menjadi tugas dari pada KNKT, Syahbandar, Mahkamah pelayaran, serta pihak Asuransi untuk mengungkap Fakta dibalik kejadian ini.

Kepada seluruh keluarga Korban kami mengucapkan Turut Berduka Cita yang mendalam, semoga diberikan Kesabaran dalam menerima Cobaan ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline